Kamis 27 May 2021 17:36 WIB

BIN Saran Revisi UU Otsus Papua Disegerakan Sebelum PON

BIN mendeteksi kelompok separatis Papua memanfaatkan pelaksanaan PON XX.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Agus Yulianto
Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Teddy Lhaksmana Widya Kusuma (kanan)
Foto: Biro Humas BIN
Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Teddy Lhaksmana Widya Kusuma (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Intelijen Negara (BIN) memberikan saran kepada Panitia Khusus (Pansus) Otonomi Khusus (Otsus) Papua DPR RI agar menyegerakan proses revisi Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. Sebab, BIN mendeteksi kelompok separatis Papua memanfaatkan pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XX, yang akan digelar di Papua pada Oktober 2021.

"Amandemen UU Otsus untuk disegerakan agar tidak bersamaan dengan kegiatan PON ke-XX di Papua," ujar Wakil Kepala BIN Letjen TNI Purn Teddy Lhaksmana Widya Kusuma dalam rapat kerja bersama Pansus Otsus Papua DPR RI, Kamis (27/5).

Dia mengatakan, penyelenggaraan PON dimanfaatkan Veronica Koman dan Benny Wenda yang berada di luat negeri untuk menarik perhatian dunia. Para pendukung referendum Papua juga memanfaatkan momentum amandemen UU Otsus Papua untuk memasifkan berbagai aksi.

Aksi tersebut antara lain pelaksanaan rapat dengar pendapat (RDP) Majelis Rakyat Papua (MRP), unjuk rasa menyusun petisi rakyat Papua, rencana mogok sipil nasional, dan provokasi di media sosial oleh Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULWMP).

Teddy menyebutkan, dari hasil pendalaman BIN, terdapat tiga front yang aktif menggalang dukungan pelaksanaan referendum di Papua. Front dimaksud antara lain, front bersenjata, front politik, dan front klandestin.

Di sisi lain, sejak dikeluarkannya UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001 hingga saat ini, Teddy mengatakan, tingkat kesejahteraan masyarakat Papua masih rentan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua menjadi yang terendah di Indonesia, yaitu antara 60,84 sampai dengan 64,70.

Hal tersebut karena pelaksanaan program dan pendanaan bagi empat sektor strategis (infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan ekonomi kerakyatan) tidak jelas. Bahkan, Teddy menuding, pengembangan sumber daya manusia di Papua terhambat akibat gangguan keamanan oleh kelompok separatis.

Dia menyebutkan, kelompok separatis Papua melakukan pembakaran sekolah dan pembunuhan guru serta murid. Sedangkan, pengawasan oleh aparat pemeriksa internal dan eksternal pemerintah daerah belum maksimal.

Sementara itu, terdapat kerentanan sosial budaya yang disebabkan pola kepemimpinan yang berbasis suku, perbedaan karakter warga pegunungan dan pesisir, sebagai ras melanesia orang asli Papua merasa berbeda dengan suku bangsa lain di Indonesia, dan sikap kolutif elite lokal.

Teddy menambahkan, kelompok front politik yang didukung oleh kelompok-kelompok klandestin melakukan manuver politik dengan mengintervensi agenda RDP dan RPD umum. Mereka juga mengarahkan agar hasil evaluasi otsus Papua merekomendasi penolakan otsus dan mendukung referendum di Papua.

"Dalam hal ini BIN mendeteksi bahwa gangguan keamanan dirancang untuk menciptakan situasi yang mencekam, sebagai salah satu strategi untuk menutupi tindak penyalahgunaan dan penyelewengan dana otsus selama ini," kata Teddy.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement