REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir berharap, Bangsa Indonesia tidak terbelah dalam menyikapi konflik dan tragedi kemanusiaan yang masih terjadi di Palestina. Pasalnya, sebagai bangsa yang pernah dijajah, seluruh komponen Bangsa Indonesia sepatutnya memiliki pandangan yang sama bahwa penjajahan di negara mana pun di muka bumi merupakan tragedi kemanusiaan paling pahit, paling kelam, dan paling dzalim yang harus ditentang.
"Jangan sampai bangsa ini terpecah gara-gara mereaksi persoalan Palestina karena posisinya sudah jelas apalagi ada di tujuan nasional. Satu di antaranya bahwa kita ingin ikut serta dalam ketertiban dunia dan perdamaian abadi," kata Haedar dalam diskusi publik "Konflik Arab-Israel, Peluang dan Tantangan Perdamaian" yang berlangsung secara virtual, Senin (24/5).
PP Muhammadiyah, kata Haedar, mengapresiasi sikap Pemerintah Indonesia yang mengambil posisi tepat, konsisten, dan tegas mendukung kemerdekaan rakyat Palestina. "Pemerintah Indonesia kami apresiasi sudah mengambil posisi yang tepat dankonsisten untuk tetap mendukung Palestina secara tegas," kata dia.
Bahkan sebagian negara-negara Arab, menurut dia, tidak memiliki sikap tegas seperti yang ditunjukkan Pemerintah Indonesia. Bagi Haedar, Pemerintah Indonesia telah berada di jalur yang tepat dalam menyikapi persoalan Palestina sehingga semestinya diikuti seluruh komponen bangsa.
"Jika pemerintah saja sudah seperti itu, warga dan elit bangsa yang mungkin mendukung pemerintah sekarang saya imbau untuk coba memahami dengan seksama dan reflektif bahwa persoalan Palestina adalah persoalan kemerdekaan," kata dia.
Menurut dia, Bangsa Indonesia dapat merespons persoalan penjajahan di Palestina dalam bingkai menjalankan amanat konstitusi. Sesuai pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 disebutkan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dia juga berharap, seluruh pihak berhenti membawa politik aliran dalam kasus Palestina dengan memandangnya semata-mata sebagai persoalan Islam melawan yang lain. Dia tidak memungkiri bahwa problem Palestina memiliki irisan dengan persoalan keislaman jika ditinjau dari aspek sejarah dan keberadaan Masjid al-Aqsa yang merupakan salah satu masjid utama bagi kaum Muslim selain Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah.
"Bahwa ada konteks Islam, oke, sejauh menyangkut eksklusif Islam. Tapi, ketika sudah relasinya bangsa dan dunia kemanusiaan semestinya bawalah ini sebagai persoalan penjajahan," tegas dia.