Senin 24 May 2021 12:26 WIB

WP KPK Minta Firli Bahuri Cabut SK Penonaktifan 75 Pegawai

Keberadaan SK itu telah mengganggu penanganan perkara korupsi di KPK.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Agus Yulianto
Ketua Wadah Pegawai (WP) KPK Yudi Purnomo Harahap memberikan keterangan kepada wartawan.
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Ketua Wadah Pegawai (WP) KPK Yudi Purnomo Harahap memberikan keterangan kepada wartawan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan korupsi (WP KPK) meminta Ketua KPK, Firli Bahuri mencabut Surat Keputusan (SK) penonaktifan 75 pegawai berstatus tidak memenuhi syarat (TSM). Keberadaan SK itu telah mengganggu penanganan perkara korupsi di KPK.

"SK tersebut belum dicabut oleh Ketua KPK sehingga 75 pegawai sampai saat ini tetap belum bisa melaksanakan tugasnya masing-masing," kata Ketua WP KPK, Yudi Purnomo Harahap, Senin (24/5).

Surat yang dimaksud adalah SK nomor 652 Tahun 2021 tentang Hasil Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Dia mengatakan, di antara 75 pegawai yang dinonaktifkan itu bertugas sebagai penyidik dan penyelidik yang tengah menangani perkara rasuah.

Dia mengatakan, SK tersebut telah membuat mereka menyerahkan tugas dan tanggung jawab penanganan perkara korupsi yang ditangani kepada atasannya hingga ada keputusan lebih lanjut. Dia juga menegaskan, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan peralihan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak boleh merugikan hak para pegawai.

Sebelumnya, mantan ketua KPK Bambang Widjojanto menyebut, kalau SK penonaktifan 75 pegawai KPK memiliki konsekuensi hukum. Dia mengatakan, SK tersebut akan berdampak pada penanganan perkara korupsi di lembaga antirasuah.

"Bila surat ketua KPK yang tidak segera dicabut maka akan punya konsekuensi hukum pada mereka yang kapasitasnya sebagai penyidik dan penyelidik," kata Bambang Widjojanto, Kamis (20/5).

SK meminta pegawai TMS menyerahkan tugas dan tanggung jawab mereka kepada atasan mereka langsung. Bambang mengatakan, permintaan dalam SK tersebut juga merupakan perlawanan terhadap hukum mengingat sebagian pegawai yang berstatus TMS itu adalah penyelidik dan penyidik.

Dia menerangkan, penyelidik dan penyidik memiliki kewenangan melakukan tindakan pro justisia. Dia melanjutkan, keberadaan SK tersebut dapat memberikan konflik karena tindakan mereka dapat dipersoalkan dan bermasalah secara hukum.

"Situasi di atas itu dapat menjadi pintu masuk dan celah hukum bagi para koruptor untuk menggugat tindakan hukum penyelidik dan penyidik KPK yang dinonjobkan oleh Ketua KPK sendiri," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement