REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad menilai, kebocoran data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sangat berbahaya dampaknya. Bahkan, ia menilai, lebih berbahaya dibanding bocornya data pengguna Facebook beberapa waktu lalu.
"Kebocoran data BPJS meliputi data yang lebih lengkap dan jumlah datanya lebih banyak sehingga potensi disalahgunakan lebih besar," ujar Suparji saat dihubungi melalui pesan singkat, Ahad (23/5).
Lanjut Suparji, kebocoran data informasi warga negara Indonesia (WNI) yang lebih lengkap dan lebih besar jumlahnya menjadi bukti lemahnya perlindungan data pribadi. Dengan data tersebut, cukup bagi pelaku tindak kejahatan untuk melakukan phishing misalnya, yang ditargetkan atau jenis serangan rekayasa sosial (social engineering).
Karena itu, Suparji, meminta agar pihak berwajib harus segera diusut dengan tuntas. Bahkan harus ada yang bertanggung jawab atas kebocoran ratusan juta WNI tersebut. Sehingga, ada efek jera dan diharapkan ke depannya tidak ada lagi mencoba membocorkan atau mencuri data masyarakat dari BPJS Kesehatan maupun instansi lainnya.
"Penyebab terjadinya kebocoran tersebut dan pihak yan diduga melakukan harus diminta pertanggungjawaban hukum," tegas Suparji.
Selain itu, Suparji menekankan, agar pemerintah segera merampungkan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi. Karena meski bukan menjadi satu-satunya menjadi penentu keberhasilan, tapi undang-undang tersebut menjadi upaya untuk melindungi data pribadi.
Sebelumnya, sebuah akun dalam forum gelap internet mengaku memiliki data 200 juta penduduk Indonesia yang dijual di dalam forum tersebut. Pelaku penjual data tersebut mengeklaim isi data berisi NIK, nomor telepon, hingga alamat tercantum dalam folder data tersebut. Dalam sebuah tangkapan layar, pelaku mengatakan bahwa sumber data tersebut berasal dari BPJS Kesehatan.