Peneliti lembaga riset Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Muhammad Ihsan Maulana, mengatakan, terdapat potensi MK memerintahkan PSU kembali pada perselisihan hasil pilkada pasca-PSU. Putusan PSU kembali setelah KPU melaksanakan PSU sebelumnya pernah terjadi pada Pilkada 2015 lalu.
"Karena masih di tahap pemeriksaan pendahuluan, prospek apakah akan di PSU kembali masih 50:50," ujar Ihsan kepada Republika, Kamis (20/5).
Ihsan menjelaskan, pada Pilkada 2015, putusan PSU kedua dikeluarkan bukan dalam proses sengketa hasil pilkada kedua, melainkan pelaporan KPU atas pelaksanaan PSU kepada MK. Sedangkan, pada Pilkada 2020, MK tidak memerintahkan KPU melaporkan hasil PSU, tetapi menuangkannya ke dalam keputusan KPU yang baru atas hasil PSU.
Sehingga, keputusan KPU yang baru itu dapat kembali menjadi objek permohonan sengketa hasil pilkada ke MK. Menurut Ihsan, potensi adanya putusan MK yang memerintahkan KPU melaksanakan PSU kembali bergantung pada proses pembuktian di persidangan.
"Jika dalil yang diajukan oleh pemohon terbukti soal pelanggaran yang terjadi," kata Ihsan.
Ihsan mengungkapkan, jika MK kembali memerintahkan PSU karena terbukti adanya pelanggaran, maka hadirnya pemimpin daerah terpilih makin lama. Apalagi kepala daerah hasil Pilkada 2020 hanya akan menjabat sampai 2024, sehingga tidak ada kepastian hukum untuk penyelenggaraan di daerah sekalipun ada pelaksana tugas atau pelaksana harian kepala daerah
"Selain itu, waktu untuk PSU kan bisa digunakan oleh masyarakat untuk hal lain, seperti kerja dan ini berdampak pada partisipasi pemilih juga," tutur Ihsan.
Kemudian, meskipun legitimasi secara hukumnya tidak terpengaruh, tetapi secara politik bisa saja terpengaruh. Dalam pelaksanaan PSU kedua, sangat mungkin partisipasi pemilih dan dukungan masyarakat kepada calon kepala daerah berkurang.
Ihsan menyebutkan, berdasarkan dalil permohonan dari delapan perkara yang diajukan ke MK, sebagian besar menduga masih terjadi pelanggaran dalam PSU. Pelanggaran yang dilakukan penyelenggara pemilu maupun peserta pemilu yang lain.
Misalnya, pemohon perselihan hasil pemilihan bupati Labuhanbatu Selatan mendalilkan terjadinya kegiatan mobilisasi pemilih oleu salah satu pasangan calon sehingga memengaruhi hasil PSU yang signifikan. Sementara di Labuhanbatu, dalil yang diajukan di antaranya, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) memberikan kesempatan kepada pemilih yang tidak melampirkan formulir Model A.5 KWK atau formulir pindah memilih masuk sebagai pemilih tambahan.