REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPA) mendorong agar siswi di SMAN Kabupaten Bengkulu Tengah, Provinsi Bengkulu, yang dikeluarkan dari sekolah terkait video penghinaan terhadap Palestina agar mendapatkan konseling. KPAI juga menyarankan agar MS (19 tahun), siswa kelas II SMAN tersebut tidak dikeluarkan dari sekolah.
"MS yang sudah minta maaf dan menyesali perbuatannya, seharusnya memperoleh konseling dan pembinaan juga dari sekolah agar tidak mengulangi perbuatannya, bukan dikeluarkan dari sekolah, apalagi MS sudah di kelas akhir," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti dalam pernyataan di Jakarta, Kamis (20/5).
Retno mengatakan, dikeluarkannya siswi tersebut dari sekolah telah melanggar hak asasinya untuk memperoleh pendidikan. Apalagi, mengingat kasus yang viral menimbulkan potensi MS sulit diterima di sekolah lain.
Oleh karena itu, untuk memenuhi hak atas pendidikannya, KPAI mendorong Dinas Pendidikan Kabupaten Bengkulu Tengah memenuhi hak siswi tersebut. KPAI telah berkoordinasi dengan Pemberdayaan Perempuan Pelindungan Anak Bengkulu dan mendapatkan informasi, siswi itu telah berusia 19 tahun. Sehingga KPAI tidak memiliki kewenangan dan membantu kasus tersebut.
Kewenangan KPAI adalah mereka yang berusia anak atau dalam rentang usia sampai 18 tahun. Meski demikian, Retno menegaskan, KPAI berkonsentrasi dengan pemenuhan hak atas pendidikan karena status MS yang seorang pelajar.
Dia mengatakan bahwa sanksi terhadap siswi itu seharusnya bukan dikeluarkan, mengingat MS telah meminta maaf, mengakui kesalahannya, dan menyesali perbuatannya. Sehingga, seharusnya siswi itu diberi kesempatan memperbaiki diri karena masa depannya masih panjang.
"KPAI juga memperoleh informasi bahwa MS mengalami masalah psikologis akibat dampak dia dikeluarkan oleh pihak sekolah, bahkan takut bertemu orang lain. Oleh karena itu, KPAI mendorong MS dibantu konseling oleh UPTD P2TP2A agar mendapatkan rehabilitasi psikologis," ujar Retno.