Rabu 19 May 2021 18:53 WIB

Isyarat dari Mahfud, Kelompok Teroris di Papua Terus Diburu

Ada empat peristiwa kontak senjata setelah pemerintah melabeli KKB kelompok teroris.

Menkopolhukam Mahfud MD.
Foto:

Wakil Presiden Ma'ruf Amin menegaskan, komitmen Pemerintah untuk menyelesaikan pembangunan kesejahteraan Papua dan Papua Barat sebelum periode pemerintahan Jokowi-Ma'ruf berakhir di 2024. Wapres mengatakan, penanganan kesejahteraan Papua itu menjadi salah satu prioritasnya untuk diselesaikan di sisa jabatannya 3,5 tahun mendatang.

"Itu menjadi tugas yang dilimpahkan kepada saya, rencana aksi atau program quick wins yang mampu memberikan manfaat nyata dan memperkuat rasa saling percaya serta persatuan nasional, sudah harus tuntas terlaksana sebelum periode pemerintahan ini berakhir," kata Wapres saat halal bihalal dengan pejabat dan pegawai di lingkungan Sekretariat Wakil Presiden secara daring, Rabu (19/5).

Ia juga menegaskan, pendekatan yang digunakan Pemerintah dalam penanganan Papua menggunakan pendekatan kesejahteraan, bukan pendekatan keamanan. Menurutnya, jika aparat keamanan ditempatkan di Bumi Cendrawasih sebagai upaya melindungi masyarakat dan jalannya pembangunan di Papua.

Ma'ruf pun mengaku berencana melakukan kunjungan ke Papua dan Papua Barat segera setelah rencana aksi dari program percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat mendapatkan pengesahan dari Presiden.

"Supaya tidak salah persepsi. Sebab seakan-akan penanganan Papua itu lebih pendekatan keamanan. Padahal justru kita ingin pendekatannya adalah pendekatan kesejahteraan," kata Ma'ruf.

Menurutnya, keberadaan aparat keamanan di Papua hanya untuk melindungi masyarakat dan jalannya pembangunan dari gangguan-gangguan kelompok atau gerakan separatis yang mengacaukan situasi di Papua. Apalagi, saat ini gerakan tersebut sudah dikategorikan sebagai gerakan terorisme.

"Ini penting untuk supaya tidak terjadi salah persepsi seakan-akan sudah berubah pendekatan," kata Ma'ruf.

Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth mengatakan, dana otonomi khusus (otsus) bukan menjadi satu-satunya solusi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan di Papua. Banyak persoalan yang terjadi di Tanah Papua yang perlu diselesaikan atau dibenahi, termasuk kapasitas penyelenggara pemerintahannya.

"Anggaran sebesar apa pun, otoritas yang diberikan sebesar apa pun, ketika kapasitasnya tidak cukup atau tidak bisa mengelola itu semua, itu juga menjadi persoalan," ujar Adriana dalam diskusi daring, Rabu (19/5).

Menurut dia, kapasitas penyelenggara pemerintahan ini menjadi salah satu faktor terhadap masih banyaknya masalah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan di Papua. Kapasitas penyelenggara pemerintah yang mengelola anggaran otsus Papua perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh agar jelas peruntukannya.

Adriana menyebutkan, hampir 20 tahun, indeks pembangunan manusia (IPM) di Papua dan Papua Barat masih jadi yang terendah secara nasional, meskipun setiap tahun IPM-nya memang meningkat. Padahal, besaran dana otsus Papua setiap tahunnya pun makin bertambah.

Dia mengatakan, membandingkan atau mengevaluasi Papua tidak bisa melihat Papua sebagai daerah yang normal seperti daerah otonomi lainnya. Papua memiliki berbagai persoalan yang kompleks, seperti masih terjadinya konflik bersenjata di beberapa wilayah di Papua.

Dalam hal geografis pun, Papua mempunyai permasalahannya sendiri untuk menghadirkan pelayanan publik yang merata  sampai ke kampung-kampung terpencil. Alokasi dana otsus semestinya menutupi kesulitan-kesulitan yang dihadapi Papua di bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi lokal, maupun infrastruktur.

"Ketika dana itu ditambah, sekali lagi, persoalan apa yang masih ada di Papua yang harus diselesaikan?" kata Adriana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement