Rabu 19 May 2021 13:55 WIB

Tes Wawasan Kebangsaan KPK yang Diduga Penuh Maladministrasi

Tes wawasan kebangsaan dinilai sarat akan pelanggaran hukum dan undang-undang.

Massa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Antikorupsi menabuh kentongan saat melakukan aksi di depan Gedung KPK, Jakarta, Selasa (18/5/2021). Aksi tersebut merupakan bentuk dukungan kepada 75 pegawai KPK yang dinyatakan nonaktif setelah tidak lolos tes wawasan kebangsaan.
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Massa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Antikorupsi menabuh kentongan saat melakukan aksi di depan Gedung KPK, Jakarta, Selasa (18/5/2021). Aksi tersebut merupakan bentuk dukungan kepada 75 pegawai KPK yang dinyatakan nonaktif setelah tidak lolos tes wawasan kebangsaan.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha

Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-komisi dan Instansi (PJKAI) KPK, Sujanarko, menyebut seluruh pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) penuh kesalahan administrasi. Pernyataan Sujanarko berdasarkan kajian yang dilakukan para pegawai yang berstatus tidak memenuhi syarat (TMS) berdasarkan tes tersebut.

Baca Juga

"Dari kajian kami ada banyak sekali maladministrasi yang sudah dilakukan KPK baik penerbitan SK-nya, prosesnya, dari sisi wawancara. Hampir ada enam indikasi yang kami sampaikan pimpinan KPK telah melakukan maladministrasi," kata Sujanarko di Jakarta, Rabu (19/5).

Sujanarko mengatakan, maladministrasi tersebut juga berlaku dalam proses penonaktifan para pegawai KPK berstatus TMS tersebut yang dinilai tidak berdasar. Dia melanjutkan, maladministrasi serta penonaktifan para pegawai berintegritas itu juga yang menjadi alasan mereka untuk melaporkan kelima pimpinan lembaga antirasuah ke Ombudsman.

Tes TWK dinilai sarat akan pelanggaran hukum dan undang-undang sehingga merugikan hak 75 pegawai KPK dan agenda pemberantasan korupsi. Pegawai-pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos dalam tes tersebur dalah pegawai-pegawai yang jujur dan berprestasi serta integritasnya teruji selama ini.

Sementara, keenam maladministrasi TWK dinilai bertentangan dengan UU memiliki implikasi hukum dan anggaran yang berbeda. Pasal 20 Ayat (1) Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tidak merinci metode pengujian tes wawasan kebangsaan sehingga bertentangan dengan prisnip-prinsip hukum dan hak asasi manusia dan kepastian hukum.

Pimpinan KPK dinilai membuat sendiri kewenangan untuk menyelenggarakan tes wawasan kebangsaan yang tidak diatur dam UU Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN dan UU nomor 19 tahun 2019 tentang KPK dan PP nomor 41 tahun 2020 tentang Alih Status Pegawai KPK. Perlibatan lembaga lain untuk tujuan di samping alih status pegawai KPK dalam melaksanakan TWK juga dinilai bertentangan dengan Pasal 4 Ayat (1) PP nomor 41 tahun 2020 dan Pasal 18 dan 19 Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021.

Pimpinan KPK menggunakan metode pengujian melalui TWK sebagai dasar pengangkatan pegawai KPK, padahal tidak ada ketentuan dalam Peraturan KPK nomor 1 tahun 2021 yang menyatakan demikian.

Pegawai KPK membuat dan menandatangani dokumen pelaksanaan pekerjaan setelah pekerjaan selesai. Indikasi kesalahan terakhir adalah pimpinan KPK menambahkan sendiri konsekuensi dari tes wawasan kebangsaan sehingga melampaui kewenangannya dan bertentangan dengan Putusan MK Nomor 70/PUU-XVUU/2019.

Nasib 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK memang masih belum diketahui. Meski Presiden Joko Widodo sudah mendorong adanya solusi, namun pakar hukum, Bivitri Susanti, menilai pernyataan Presiden murni karena desakan publik. Menurutnya, pernyataan Presiden Jokowi yang seolah mendukung pegawai KPK tak lulus TWK muncul karena terpaksa.

"Menurut saya sikap itu karena dorongan publik. Saya tidak melihat Pak Jokowi punya komitmen dalam pemberantasan korupsi," kata Bivitri kepada Republika, Rabu (19/5).

Bivitri masih meragukan komitmen Presiden Jokowi guna menuntaskan permasalahan korupsi di Tanah Air. Selama ini, ia mendapati Presiden Jokowi tak bersuara bila ada upaya pelemahan KPK.

"Jadi dari segi komitmen sudah terbaca jelas, Pak Jokowi sebenarnya tidak terlalu peduli dengan pemberantasan korupsi. Tapi tekanan yang menguat ini yang membuat dia merespons," ujar Bivitri.

Bivitri menyebut Presiden Jokowi sebenarnya punya kuasa bila ingin menunjukkan dukungan pemberantasan korupsi. Namun Presiden Jokowi, lanjut Bivitri, terkesan mengabaikan masukan masyarakat kepada KPK.

"Kalau memang punya komitmen, kenapa dulu merevisi UU KPK yang menyebabkan semua kekistruhan ini? Dan mengapa juga tetap meloloskan Firli Bahuri di pansel meskipun rekam jejaknya di KPK luar biasa jelek," ucap Bivitri.

Seperti diketahui, TWK pegawai KPK menuai polemik lantaran membuat soal yang tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi pemberantasan korupsi. Diantara pertanyaan yang muncul yakni pandangan pegawai seputar FPI, Muhammad Rizieq Shihab, HTI, alasan belum menikah, kesediaan menjadi istri kedua, doa qunut dalam shalat hingga LGBT.

TWK yang diikuti 1.351 pegawai KPK itu sukses menyingkirkan 75 pegawai berintegritas semisal penyidik senior, Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai KPK yang juga penyidik Yudi Purnomo, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono dan Kasatgas KPK Harun Al-Rasyid. Mereka dinyatakan TMS berdasarkan tes tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement