Rabu 19 May 2021 11:23 WIB

MS Minta Maaf dan Mengaku Spontan Hina Palestina

Aktivis perlindungan anak soroti keputusan sekolah keluarkan MS akibat video Tiktok.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Bendera Palestina dikibarkan (ilustrasi).
Foto: AP/Hani Mohammed
Bendera Palestina dikibarkan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU -- Siswa kelas II SMA di Kabupaten Bengkulu Tengah, Provinsi Bengkulu, MS (19 tahun), membuat rekaman ujaran kebencian terhadap Palestina yang saat ini sedang dibombardir Zionis Israel. Video ujaran kebencian yang dibuat MS diunggah dalam akun Tiktok pribadinya, hingga viral.

Dalam unggahan berdurasi delapan detik yang sudah dihapus oleh Tiktok itu, MS merekam video untuk menyuarakan hujatan terhadap Palestina. MS menyatakan, tindakannya itu adalah spontan sebagai bentuk keisengan dengan tujuan mengikuti tren bermedia sosial.

"Saya minta maaf atas perbuatan saya, baik kepada warga Palestina maupun seluruh warga Indonesia. Saya hanya iseng dan bercandaan saja bukan maksud berbuat apa-apa dan saya juga tidak menyangka bisa seramai ini," ujarnya di Kota Bengkulu, Rabu (19/5).

MS pun harus berurusan dengan pihak sekolah. Dia harus dikeluarkan dari sekolah karena dianggap melanggar etika sekolah. Hanya saja, kasus itu tidak sampai diproses hukum oleh kepolisian. Pasalnya, MS sudah membuat permintaan maaf secara terbuka atas video yang dibuatnya.

"Keputusan ini diambil setelah pihak sekolah mengevaluasi tata tertib sekolah dan pelanggaran MS dan hasilnya yang bersangkutan sudah melampaui ketentuan," kata Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VIII Kabupaten Bengkulu Tengah, Adang Parlindungan, di Kota Bengkulu, Rabu (19/5).

Tindakan sekolah yang memutuskan mengeluarkan MS mendapat sorotan dari aktivis perlindungan perempuan dan anak. Direktur Pusat Pendidikan Perempuan dan Anak (PUPA) Susi Handayani mengatakan, mengeluarkan MS dari sekolah adalah bentuk penghukuman yang seharusnya tidak lagi diberikan kepada anak. Hal itu sesuai dengan atas Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 juncto UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

"Pertama, kita semua mengakui apa yang dilakukan anak itu salah, tapi yang diberikan seharusnya sanksi yang berdampak baik bagi anak, bukan hukuman. Karena, semangat UU Perlindungan Anak tidak ada lagi hukuman bagi anak," kata Susi.

Bentuk sanksi yang dapat diberikan kepada siswa, menurut Susi, antara lain, membuat konten pendidikan di media sosial yang bersifat mencerahkan bagi dirinya dan pubik. Dia menilai, kebijakan mengeluarkan anak dari sekolah adalah pola penghukuman karena mengacu pada poin pelanggaran tata tertib sekolah dan hukumannya adalah dikeluarkan dari sekolah.

Menurut Susi, seharusnya pola itu tidak diterapkan lagi dalam sistem pendidikan yang memerdekakan. Selain itu, Susi melanjutkan, dalam mediasi dengan berbagai pihak yang digelar beberapa hari lalu, MS seharusnya juga memiliki pendamping.

Karena dalam posisi hanya didampingi orang tua, posisi MS sangat lemah dan hanya menerima semua keputusan yang ditimpakan padanya. "Saat anak dihadirkan dalam proses mediasi seharusnya didampingi karena dia dihadirkan sebagai orang yang bersalah, tentu ada tekanan psikologis. Maka, semua hal dia terima karena posisinya lemah," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement