Senin 17 May 2021 17:23 WIB

Soal 75 Pegawai KPK, Legislator: Harus Dibela dengan Tepat

Menurut dia, yang terjadi sekarang lebih menggunakan pada pendekatan “seleksi ulang”.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Gilang Akbar Prambadi
Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan menjawab pertanyaan awak media di Kantor Dewan Pengawas (Dewas) KPK, Gedung KPK lama, Kuningan, Jakarta, Senin (17/5/2021). Novel Baswedan bersama perwakilan 75 pegawai KPK yang dinonaktifkan akibat tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) tersebut melaporkan Dewas KPK Indriyanto Seno Adji yang diduga telah melakukan pelanggaran etik sebagai anggota Dewas, berupa turut serta dalam kegiatan operasional.
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan menjawab pertanyaan awak media di Kantor Dewan Pengawas (Dewas) KPK, Gedung KPK lama, Kuningan, Jakarta, Senin (17/5/2021). Novel Baswedan bersama perwakilan 75 pegawai KPK yang dinonaktifkan akibat tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) tersebut melaporkan Dewas KPK Indriyanto Seno Adji yang diduga telah melakukan pelanggaran etik sebagai anggota Dewas, berupa turut serta dalam kegiatan operasional.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PPP, Arsul Sani menanggapi soal tidak memenuhi syarat (TMS) 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saat ini, kata dia, yang terpenting adalah mencari solusi supaya KPK tidak kehilangan pegawai yang baik di antara 75 orang itu. Itu karena mereka rata-rata sudah bekerja cukup lama dan telah berkontribusi pada KPK baik di bidang pencegahan maupun penindakan korupsi.

“Bagi saya, tidak ada manfaatnya untuk terus-menerus berkutat mempersoalkan TWK-nya (tes wawasan kebangsaan). Ditambah mengembangkan hal-hal yang berbasis prasangka buruk. Itu bukan cara pembelaan yang tepat bagi 75 pegawai, malah memperkeruh suasana,” kata Arsul Sani kepada republika.co.id, Senin (17/5).

Perlu diingat bagi pimpinan KPK dan para pengambil keputusan seperti Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Kemenpan RB) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) agar mereka bisa lebih jernih melihat persoalan 75 pegawai ini. Dengan demikian, keputusan yang menyangkut berdasarkan pada keadilan dan kemanfaatan hukum.

Dalam konteks tersebut, Arsul melihat ada dua hal yang perlu menjadi sudut pandang pimpinan KPK dan penentu kebijakan. Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyampaikan alih status kepegawaian bukan proses rekrutmen aparatur sipil negara (ASN) baru. Sebaiknya, KPK, Kemenpan RB dan BKN memperhatikan hal ini.

Kedua, pertimbangan MK tersebut sesungguhnya sama dengan semangat pembentuk undang-undang ketika melakukan pembahasan, yakni perubahan status kepegawaian menjadi ASN. 

“Itu semangatnya lebih pada alih status atau konversi yang dilakukan tanpa proses seleksi. Nantinya setelah mereka semua menjadi ASN dilakukan pembinaan terkait wawasan kebangsaan, kapasitas dan integritas,” ujar dia.

Menurut dia, yang terjadi sekarang lebih menggunakan pada pendekatan “seleksi ulang” dibandingkan prinsip alih status yang terjadi sebelumnya. Kemudian baru ada proses evaluasi sebagai ASN dalam rangka pembinaan.

“Kita juga jangan sedikit-sedikit minta Presiden Joko Widodo turun tangan sementara di kesempatan lain selalu berteriak presiden tidak boleh intervensi ke KPK. Ini yang sebagian elemen masyarakat sipil sering tidak konsisten,” ucap dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement