Jumat 14 May 2021 00:30 WIB

Banyak Pemudik Positif Covid-19, Ini Saran Ahli

Perlu pendekatan agresif bila tak ingin terjadi lonjakan Covid-19 di kemudian hari.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Agus Yulianto
Dokter Spesialis Paru RSUP Persahabatan Jakarta Erlina Burhan saat sesi foto untuk Tokoh Perubahan Republika 2020 di Jakarta.
Foto: Republika/Prayogi
Dokter Spesialis Paru RSUP Persahabatan Jakarta Erlina Burhan saat sesi foto untuk Tokoh Perubahan Republika 2020 di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, ada 4.123 kasus terkonfirmasi positif Covid-19 dari random testing yang dilakukan kepada 6.742 pemudik di 381 lokasi. Situasi ini perlu ditangani dengan baik agar tidak terjadi lonjakan kasus Covid-19 pascalebaran.

Salah satu pakar paru di Indonesia Dr dr Erlina Burhan MSc SpP(K) menggarisbawahi, bila angka tersebut didapatkan dari tes swab PCR, temuan ini dinilai sangat mengkhawatirkan. Akan tetapi, bila angka tersebut didapatkan dari metode tes lain yang lebih ditujukan untuk skrining, maka angka tersebut belum bisa menjadi patokan.

photo
Para pemudik lebaran berbondong-bondong menyesaki jalanan. - (republika.co.id)

 

Terlepas dari itu, Erlina menilai, perlu ada pendekatan yang agresif bila tak ingin terjadi lonjakan kasus Covid-19 di kemudian hari. Salah satunya adalah dengan tidak hanya merawat pemudik positif Covid-19 yang bergejala, tetapi juga mengarantina pemudik positif Covid-19 yang tak bergejala.

"Yang bergejala di rumah sakit, yang tidak bergejala pun dikarantina, bahaya melepas mereka tanpa karantina, bila hanya diimbau jalankan protokol kesehatan, siapa yang memantau?" jelas Erlina saat dihubungi Republika, Selasa (11/5).

Dia juga meminta, agar semua pihak mengambil pelajaran dari situasi yang terjadi di India saat ini. Sekitar akhir tahun lalu dan awal tahun ini, lanjutnya, kasus Covid-19 di India sangat menurun dan melandai. "Sehingga euforia mereka, baik pemerintahnya maupun masyarakatnya," ungkap Dr Erlina.

Akibat dari euforia ini, penerapan aturan dan protokol kesehatan menjadi longgar. Upacara keagamaan hingga acara publik digelar dan dihadiri banyak orang yang tak mengindahkan protokol kesehatan. Bahkan, orang-orang hadir dalam sebuah acara di Sungai Gangga tanpa menggunakan masker.

Dampak dari kelonggaran inilah yang kemudian "dipanen" oleh India saat ini. Saat ini, penambahan kasus baru di India bisa mencapai ratusan ribu per hari dengan kasus kematian mencapai sekitar 3-4 ribu per hari. Bahkan proses pengurusan jenazah pasien Covid-19 dengan cara kremasi pun harus mengantri panjang.

"Saya mengingatkan masyarakat bahwa di negara-negara yang longgar menjalankan protokol kesehatan, sudah terbukti terjadi lonjakan kasus. Marilah kita jangan meniru hal seperti itu. Kita harus melindungi diri kita dan keluarga kita," pungkas Dr Erlina.

Hal senada juga diungkapkan oleh praktisi kesehatan dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Dr dr Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH MMB. Dia mengatakan, pemudik yang terkonfirmasi positif Covid-19 perlu menjalani perawatan atau isolasi mandiri sesuai dengan kondisi masing-masing.

"Kalau pemerintah daerah mempunyai fasilitas untuk isolasi, untuk karantina, misalnya seperti di Jakarta ada Wisma Atlet, itu dimanfaatkan saja," jelasnya saat dihubungi Republika, Selasa (11/5).

Prof Ari menambahkan, saat ini ada tujuh provinsi dengan tingkat keterisian tempat tidur (BOR) Intensive Care Unit (ICU) dan ruang isolasi di atas 50 persen. Ketujuh provinsi tersebut adalah Sumatra Utara, Riau, Kepulauan Riau, Sumatra Selatan, Jambi, Lampung, dan Kalimantan Barat.

Dia mengatakan, hal-hal seperti ini, perlu menjadi pertimbangan dan kewaspadaan bagi masyarakat sebelum memutuskan untuk mengunjungi suatu daerah. Masyarakat juga perlu memahami bagaimana status daerah yang akan dikunjungi.

"Merah atau tidak. Kalau menurut saya, bila hanya untuk jalan-jalan, lebih baik tunda dulu," ungkapnya.

Bila memiliki keperluan mendesak dan harus mudik, Prof Ari menekankan pentingnya penerapan protokol kesehatan dengan tertib. Jangan sampai terbentuk klaster-klaster baru akibat tidak mematuhi protokol kesehatan.

"Jangan sampai kita menjadi korban, artinya kita tertular atau membentuk klaster baru, klaster keluarga misalnya," pungkasnya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement