REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tokoh masyarakat Papua, Komjen Paulus Waterpauw mengingatkan, Indonesia adalah negara hukum. Sehingga pendekatan hukum harus dipakai terhadap pelaku kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua.
"Kelompok mereka sudah punya senjata tajam lalu lakukan kekerasan pada masyarakat. Minta makanan, minta dana. Mereka lakukan itu kepada warga Papua bahkan membakar rumah warga. Maka kita harus tegakkan aturan hukum," ujarnya di Jakarta, Kamis (6/5).
Paulus menilai, konflik Papua harus dilihat dengan pendekatan hukum karena siapan pun wajib taat pada aturan negara. Hukum harus menjadi panglima dalam penyelesaian masalah ini. Kalau hukum berjalan baik akan baik pula negara.
"Jadi yang dilabeli teroris adalah orang-orang yang melakukan kekerasan itu. Bukan masyarakat Papua," ujar kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri tersebut.
Oleh karena itu, Paulus mengingatkan, jika nanti sudah diputuskan di pengadilan terhadap pelaku teroris di Papua, kelompok itu mendapat konsekuensi besar. Bukan hanya pelaku di lapangan, sambung dia, tapi juga otak di belakang layar. "Hati-hati. Itu ada unsur unsurnya. Soal yang membantu. Akan terciduk semua. Baik di dalam maupun luar negeri," katanya.
Anggota Komisi I DPR, Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan, label terorisme itu bagi KKB berarti memenuhi unsur untuk ditindak sesuai Undang-Undang (UU) Terorisme. "Konsekuensinya adalah pemerintah wajib untuk mengerahkan seluruh sumber dayanya dalam melakukan tindakan-tindakan tertentu yang terukur," ujar Bobby saat menjadi pemateri webinar bertema 'Memahami Papua Serta Upaya Penyelesaian Secara Kolaboratif dan Holistik', Kamis.
Baca juga : Pertemuan Anies-AHY, Penjajakan Awal Menuju Pilpres 2024?
Bobby mengatakan, penanganan KKB dengan UU Terorisme membuat banyak pihak yang takut. Pasalnya, aktor intelektual yang mendukung dengan uang dan sumberdaya lain bisa ditangkap dan diadili juga.
Pelabelan teroris terhadap KKB, jelas Bobby, perlu disosialisasikan secara massif. Dan melabelkan Teroris terhadap KKB Papua juga tak akan ada masalah dengan dunia internasional. "Jadi mereka (teroris KKB) mau ke Jenewa tak bisa. Mereka ini bukan separatis. Ini trans nasional crime seperti ISIS. Mereka bukan separatism," tegasnya.
Deputi V Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani meminta semua pihak tidak melakukan generalisasi ketika bicara konflik Papua. "Kita jangan gebyah uyah kalau bicara Papua. Kalau bicara daerah konflik tidak semua daerah Papua bergejolak. Tidak. Hanya beberapa daerah saja yang konflik, dan itu daerah yang IPM-nya masih rendah," kata Jaleswari.
Adapun pengamat AS Hikam mengatakan, pendekatan dialog tetap harus dikedepankan dalam mengatasi konflik Papua. "Artinya dialog itu bukan hanya pemerintah saja. Tapi semua masyarakat Papua bicara. Sebab selama ini dialog kesannya mengangkat kelompok separatisme yang menjadi equal dengan negara. Itu saya tak setuju," ujarnya.
Nasionalisme milenial
Wakapolda Papua Brigjen Eko Rudi Sudarto mengajak generasi milenial di Bumi Cenderawasih untuk meningkatkan nasionalisme. Hal itu agar mereka bisa menjadi agen pembangunan. "Banyak agen pembangunan dapat ditemukan di tengah generasi milenial yang bersemangat," kata Eko di Jayapura, Kamis malam.
Menurut Eko, para agen pembangunan diharapkan dapat mengembangkan Papua ke depannya."Masa depan Papua akan tumbuh berkembang dengan bonus demografi dan para agen pembangunan ini," ujarnya.
Baca juga : 10 Negara Asal Kedatangan Kasus Positif Terbanyak Indonesia
Eko menjelaskan kembalinya Papua ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan salah satu adalah bagian dari nasionalisme.