Ahad 02 May 2021 09:37 WIB

FSGI: Jangan Seragamkan Kebijakan untuk Semua Wilayah

Kebijakan kabupaten/kota saja terbukti tidak bisa mengakomodasi kondisi sekolah.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Friska Yolandha
Sejumlah siswa kelas 6 SDN Sumberaji 2 mengerjakan tugas pelajaran sekolah secara daring atau online di kawasan makam Dusun Ngapus, Desa Sumberaji, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Sabtu (8/8/2020). Kawasan makam yang berada lebih tinggi dibandingkan pemukiman warga ini menjadi tempat belajar para siswa dari pagi hingga siang hari karena di lokasi tersebut yang memungkinkan mendapatkan sinyal jaringan internet untuk belajar online atau daring.
Foto: Antara/Syaiful Arif
Sejumlah siswa kelas 6 SDN Sumberaji 2 mengerjakan tugas pelajaran sekolah secara daring atau online di kawasan makam Dusun Ngapus, Desa Sumberaji, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Sabtu (8/8/2020). Kawasan makam yang berada lebih tinggi dibandingkan pemukiman warga ini menjadi tempat belajar para siswa dari pagi hingga siang hari karena di lokasi tersebut yang memungkinkan mendapatkan sinyal jaringan internet untuk belajar online atau daring.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk tidak lagi menetapkan kebijakan yang seragam untuk seluruh Indonesia. Hal ini berkaitan kebijakan pendidkan yang diambil Pemerintah di masa pandemi Covid-19.

"Sebab, kebijakan setingkat kabupaten kota saja terbukti tidak bisa mengakomodasi kondisi sekolah," kata Sekjen FSGI Heru Purnomo dalam keterangan tertulisnya berkaitan peringatan Hari Pendidikan Nasional, Ahad (2/5).

Baca Juga

Heru mengatakan, salah satu kebijakan yang disoroti FSGI yakni belajar dari rumah (BDR) atau pembelajaran jarak jauh (PJJ). Ia menilai kebijakan  PJJ di masa pandemi kurang berhasil karena hanya bersifat umum dan cenderung menyeragamkan tanpa melihat kesenjangan yang begitu lebar di Indonesia.

Ia menilai program BDR atau PJJ ini tidak efektif karena terlalu bertumpu kepada internet sehingga kebijakan yang dibuat berorientasi pada pemberian bantuan kuota pada pendidik dan peserta didik. Namun, pemberian bantuan kuota tidak disertai dengan pemetaan kebutuhan kuota yang beragam.

"Selain itu, peserta didik dari keluarga miskin yang tidak memiliki gawai dan juga wilayah blank spot tidak dapat menikmati bantuan kuota internet dan tidak terlayani PJJ," katanya.

Begitu juga, rencana Pemerintah melakukan relaksasi SKB 4 Menteri yang akan membuka sekolah tatap muka serentak pada Juli 2021. Ia menilai pembukaan sekolah tatap muka berpotensi terjadi ledakan kasus covid-19 jika tidak disertai kesiapan dan perlindungan berlapis untuk peserta didik dan pendidik.

Lagi, lagi kata Heru, kebijakan yang dibuat untuk mengatasi yang PJJ kurang berhasil ini juga bersifat umum dan cenderung menyeragamkan semua daerah. Karena itu, FSGI mendorong Kemendikbud bersinergi dengan Dinas-Dinas Pendidikan Daerah untuk memastikan terlaksanananya proses pembelajaran antara siswa dan guru dengan berbagai model dan cara sesuai disparitas wilayah, potensi dan kesiapan sekolah. 

Sehingga, Kemendikbud membuat skenario yang jelas dan terpantau untuk masing-masing sekolah, tidak lagi diserahkan kepada tim Covid secara global dalam satu kabupaten/kota.

Kedua, FSGI mendorong Kemendikbud bekerjasama dengan Dinas Dinas Pendidikan Daerah harus melakukan pemetaan yang jelas tentang efektifitas BDR di wilayah perkotaan dan Pedesaan.

"Jangan merasa hanya dengan pembagian paket internet permasalahan BDR selesai. Program bantuan Pulsa/Paket internet bisa saja dilanjutkan tetapi harus dibarengi dengan pembagian gadget dan atau alat penguat sinyal. Opsi penggunaan guru kunjung dan lainnya harus menjadi alternatif," kata Heru.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement