REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari menyoroti soal penetapan Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TNPPB-OPM) sebagai organisasi teroris. Ia menilai keputusan tersebut memiliki konsekuensi hukum dan politik terkait penanganan permasalahan konflik di Papua.
"Ada konsekuensi hukum dan politik terhadap masing-masing penggunaan istilah yang diberikan," kata Taufik saat dikonfirmasi, Sabtu (1/5).
Soal istilah teroris, ia memahami keputusan ini diambil pemerintah karena kerap kali TNPPB-OPM melakukan tindak kekerasan dan pembunuhan terhadap masyarakat sipil sehingga menimbulkan teror dan ketakutan. Dari sisi politik, politikus Partai NasDem itu menyadari keputusan pemerintah memberikan redefinisi terhadap gerakan separatis di Papua didasarkan kepada strategi penanganan gerakan bersenjata TNPB-OPM ini sekaligus sebagai bahan diplomasi karena gerakan separatis di Papua mendapatkan perhatian dunia internasional.
Namun, pria yang akrab disapa Tobas itu menjelaskan pilihan penyebutan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) kepada TNPPB-OPM bertujuan mendomestikasi penanganan hukum terhadap gerakan bersenjata ini. Tobas menyebut dengan penyebutan KKB maka gerakan ini dipandang sebagai gerakan kriminal.
Dengan demikian, penindakan berupa penegakan hukum terhadap para pelaku kriminal dilakukan oleh aparat penegak hukum, yakni kepolisian. Penanganannya pun harus berpedoman kepada hukum acara pidana. Sementara itu, secara pararel dialog tetap bisa dilakukan dengan para tokoh Papua untuk mencari jalan keluar bagi Papua yang damai dan membangun rakyat Papua yang maju dan sejahtera.
Status sebagai KKB juga berarti TNPPB-OPM bukan pemberontak. Menurutnya, jika disebut sebagai pemberontak maka pada level tertentu gerakan bersenjata ini dapat melakukan diplomasi untuk memperoleh status subyek hukum internasional.
Gerakan separatis yang awalnya sebagai pemberontakan (insurgent) dapat menjadi belligerent (negara yang berperang) yang bisa diakui sebagai subyek hukum internasional apabila gerakan tersebut makin terorganisir, meluas, dan mampu menguasai suatu wilayah. Di sisi lain, penumpasan gerakan pemberontakan bersenjata dihadapi secara militer.
Penanganan militeristik ini dapat melokalisir konflik menjadi 'kombatan melawan kombatan' dan memisahkan masyarakat sipil dari konflik bersenjata yang terjadi. Penyebutan pemberontak dalam beberapa hal dapat memudahkan proses dialog ataupun penyelesaian melalui perundingan tetapi berisiko juga untuk memperbesar dukungan baik dari dalam negeri maupun luar negeri kepada para pemberontak.
"Saya melihat penyebutan pemberontak ini dihindari oleh pemerintah, karena pemerintah khawatir akan menghadapi kesulitan diplomasi apabila gerakan ini sampai diakui sebagai belligerent, meskipun sebenarnya tidak mudah mendapatkan status tersebut. Karena itu, penyebutan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dalam konteks ini dapat dikatakan lebih strategis bagi pemerintah,” kata dia.
Karena itu, ia mengkhawatirkan pelabelan TNPPB-OPM dari sebagai kelompok teroris ini justru akan menyulitkan pemisahan antara kombatan dan masyarakat sipil dalam penanganannya. Sebab, dari sisi hukum, ia mengatakan, penyebutan gerakan ini sebagai kelompok teroris maka penanganannya adalah penanganan tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Karena itu, ia berharap, pemerintah tetap mengedepankan kehati-hatian dan humanis dalam menghadapi TNPPB-OPM Ia berharap jangan sampai ada stigma rasial yang muncul atau dimunculkan kelompok tertentu terhadap upaya menangani konflik ini.
"Saya berharap agar Polisi dan TNI selalu bertindak profesional, berpedoman kepada hukum dan HAM serta berhati-hati dan cermat dalam menggunakan senjata agar tidak ada korban sipil yang terdampak," jelasnya.
"Di sisi lain, pemerintah tetap harus menggunakan pendekatan dialog yang humanis dengan masyarakat Papua karena dialog ini diharapkan dapat memberikan penyelesaian yang lebih bermartabat dan bersifat jangka panjang," imbuhnya.