Sabtu 24 Apr 2021 14:19 WIB

Krisis HAM Myanmar, Ujian Sejarah Para Pemimpin ASEAN

Penyelidikan atas tuduhan-tuduhan terhadap Jenderal Min Aung Hlaing harus dimulai.

Rep: Anadolu/ Red: Elba Damhuri
Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Miskin Kita menggelar aksi di depan Masjid Agung Al-Azhar dekat gedung Sekretariat ASEAN, Jakarta, Sabtu (24/4/2021). Dalam aksinya mereka menolak kedatangan pimpinan Junta Militer Myanmar Min Aung Hlaing yang dianggap tidak sah mewakili Myanmar dalam KTT ASEAN 2021 serta mengutuk atas terjadinya kekerasan yang terjadi di Myanmar.
Foto:

Menurut hemat saya, sangat penting bagi ASEAN untuk bekerja ekstra dalam menyelesaikan krisis politik yang berimplikasi pada krisis hak asasi manusia dan kemanusiaan di Burma. Mereka tak boleh pesimis hanya karena ASEAN memiliki budaya yang kuat untuk saling tidak mengintervensi (prinsip non-interferensi), dan mengaburkan batas antara intervensi humaniter yang boleh (permissible) dan intervensi integritas teritorial yang tidak boleh (impermissible) di bawah hukum internasional. Cara berdalih dengan prinsip ini harus ditinggalkan jauh-jauh.

Dulu, kita tidak pernah bisa membayangkan bahwa ASEAN bisa memiliki piagam ASEAN, AICHR, atau AIPR. Tapi sekarang, ASEAN menegaskan prinsip-prinsip penting seperti demokrasi, pemerintahan konstitusional, penegakan aturan hukum dan penghormatan kebebasan mendasar.

Jadi hari ini, saat menghadapi KTT darurat ASEAN, para pemimpin negara-negara Asia Tenggara harus berpikir ekstra melampaui apa yang tidak mungkin di dalam sejarah ASEAN. Ikan memang tidak bisa terbang. Tapi jangan lupa bahwa ada ikan jenis torani (exocoetidae) yang ada di samudera Atlantik, Pasifik, dan Hindia. Ikan ini, meskipun tak bisa terbang seperti pesawat, ia tetap bisa terbang tinggi di atas permukaan laut dengan kecepatan 50 km per jam.

Indonesia harus menemukan cara untuk mengarahkan AICHR untuk mengembangkan pendekatan bersama untuk memastikan bahwa semua keterlibatan dengan Myanmar menangani masalah hak asasi manusia jelas sejalan dengan prinsip-prinsip dalam Piagam ASEAN. Pendekatan ini harus diadopsi untuk dialog, termasuk menjajaki kemungkinan menjadikan Indonesia sebagai pihak ketiga atau pelibatan pihak ketiga yang bukan dari ASEAN.

Lebih jauh, Indonesia perlu menjajaki implikasi hukum dari kedatangan jenderal Min Aun Hlaing ke Jakarta. Indonesia sebagai negara pihak Konvensi PBB Menentang Penyiksaan, berkewajiban hukum untuk menuntut atau mengekstradisi tersangka pelaku di wilayahnya dan mereka tidak boleh mengundang dan menawarkan kekebalan kepada orang-orang yang diduga bertanggung jawab pidana atas penyiksaan.

Indonesia dan negara anggota ASEAN lainnya harus menggunakan yurisdiksi universal untuk memulai penyelidikan atas tuduhan yang kredibel terhadap Min Aung Hlaing.

Ini adalah yurisdiksi yang memungkinkan sebuah negara untuk menerapkan yurisdiksi hukumnya atas kejahatan di bawah hukum internasional tanpa harus digantungkan pada lokasi peristiwa kejahatan itu dan latar belakang asal usul kebangsaan orang yang bertanggungjawab.

Ke depan, ASEAN harus mampu melepas kursi nyamannya di bawah dalih prinsip non-interferensi untuk mulai menopang norma dan bangunan rezim hukum internasional yang diciptakan untuk mencegah dan menangani kejahatan-kejahatan sangat serius di bawah hukum internasional.

Misalnya, dengan merujuk situasi di Myanmar ke Pengadilan Kriminal Internasional. Dengan cara itu, mungkin ASEAN akan terbebaskan dari mentalitas blok yang menghambat pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di kawasan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement