Bagi mereka, solusi paling prospektif yang bisa kita harapkan saat ini adalah mewujudkan proses perdamaian, dan bukan penerapan sanksi internasional berupa embargo senjata atau sanksi finansial yang terarah ke perorangan elite militer yang bertanggungjawab atas kudeta dan pelanggaran HAM yang mengikuti proses itu.
Meskipun menolak tuntutan-tuntutan ini—sebagaimana disampaikan kalangan gerakan hak asasi manusia seperti Amnesty International—mereka juga tampak sadar bahwa jika berharap agar Tatmadaw memberikan kekuasaan kembali secara sukarela kepada rakyat Burma, adalah hal yang tidak akan terjadi.
Antara pesimisme dan optimisme
Adalah hal yang masuk akal jika negara-negara ASEAN memprioritaskan bahwa keamanan maupun keselamatan masyarakat di sana harus menjadi prioritas utama yang harus dijamin oleh Tatmadaw.
Namun pandangan yang menyarankan kita tidak perlu terlalu berharap adalah pandangan yang terlalu skeptis jika melihat situasi terkini di Burma yang telah memperlihatkan bahwa sebenarnya ada kemungkinan bahwa Tatmadaw tidak bisa lagi mengontrol situasi kekerasan di lapangan atau tidak dapat lagi mempertahankan cengkeramannya pada situasi domestik.
Dengan kata lain, situasi di lapangan mulai tidak terkendali. Komando tinggi tidak lagi memiliki kendali atas tentaranya. Banyak warga yang mengungsi ke hutan atau melintasi perbatasan. PBB sendiri sangat terhalangi dalam membuat solusi untuk krisis kemanusiaan yang diakibatkan.
Pada sisi lain, Tatmadaw tidak mungkin menyerahkan kekuasaan kepada warga sipil. Dengan situasi yang tak terkontrol seperti ini, apakah mungkin dialog akan tercapai?
Pentingnya dialog dan HAM
Hal yang menarik adalah dikabarkan bahwa pimpinan junta Panglima Komando Jenderal Min Aung Hlaing akan menghadiri konferensi itu. Sang jenderal dikabarkan tidak akan menghadiri KTT secara virtual sebagaimana yang diberitakan sebagian media. Jenderal paling berpengaruh ini akan benar-benar berangkat ke Jakarta.
Pertanyaan kebanyakan orang kepada Brunei, Indonesia, dan wakil-wakil negara ASEAN lain adalah jawaban apa yang kita harapkan dari pimpinan Tatmadaw itu ketika ASEAN sebelumnya menuntut diakhirinya kekerasan?
Dalam kondisi apa Tatmadaw bisa menjamin bahwa kekerasan di sana akan berakhir? Dan apa yang perlu dilakukan Indonesia jika sang jenderal benar-benar hadir secara fisik ke Jakarta?