Kamis 22 Apr 2021 18:56 WIB

Pakar Kelautan Analisis Dugaan KRI Nanggala-402 Black Out

Ada gaya hidrostatik dari air meremas kapal selam sehingga terjadi ceceran minyak.

FOTO ARSIP - Kapal selam KRI Nanggala-402 buatan tahun 1952 saat latihan Pratugas Satgas Operasi Pengamanan Perbatasan (Pamtas) Maphilindo.
Foto: ANTARA FOTO
FOTO ARSIP - Kapal selam KRI Nanggala-402 buatan tahun 1952 saat latihan Pratugas Satgas Operasi Pengamanan Perbatasan (Pamtas) Maphilindo.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Wisnu Wardhana menganalisis terkait dugaan penyebab kapal selam KRI Nanggala-402 yang dilaporkan hilang kontak di Perairan Bali bagian utara, Rabu (21/4). Menurutnya, ada dua sistem komunikasi dalam kapal selam tersebut.

"Ada dua, yaitu saat kapal di permukaan air dan saat kapal di bawah permukaan air," ujarnya, Kamis (22/4).

Menurut dia, jika berada di permukaan air, sebagian badan kapal selam muncul di permukaan sehingga komunikasi lewat radar bisa relatif lebih stabil. Sedangkan, jika saat kapal di bawah permukaan air (dalam air penuh) komunikasi melewati sonar (ada mekanisme bergetar) frekuensi ini yang dirambatkan melalui air.

"Kalau media komunikasi lewat air, kualitas komunikasi tergantung dari karakter air. Misalkan, arusnya tinggi maka media komunikasi akan terbawa mengikuti arus air. Belum lagi parameter media komunikasi yang lain," ucapnya.

Dia menyebut, semua parameter media itu berinteraksi satu sama lain, sehingga bisa terjadi resultan nol yang sampai ke penerima, atau yang dinamakan black out (hilang kontak). "Pada kasus kapal selam KRI Nanggala ini harus dilihat dari beberapa sisi. Apakah akibat media air yang resultannya nol ataukah kerusakan peralatan teknis," kata Wisnu.

Mengenai ditemukannya ceceran minyak di lokasi penyelaman KRI Nanggala, Wisnu menduga, bisa jadi minyak itu merupakan minyak dari bahan bakar kapal selam TNI AL itu. Ia menjelaskan, bahwa di dalam kapal selam, desain konstruksi ada yang namanya tangki pemberat (ballast tank).

Untuk kapal selam yang didesain tahun 1980-an, kedalaman yang memungkinkan adalah 380 meter, tapi sekarang kemungkinan itu hanya 300 meter. "Jika dipaksa lebih dari itu, tangki pemberatnya ini seperti diremas karena ada gaya hidrostatik dari air yang meremas kapal selam. Kalau sampai ada oli dan cairan minyak di permukaan air ini indikasi tangki pemberatnya rusak," kata dia.

Wisnu menambahkan jika sudah di kedalaman 300 meter strukturnya mulai berbunyi dan kolaps, lalu tangki rusak dan semua minyak keluar. "Semua penyebab harus diidentifikasi. Apakah kesalahan sistem, mesin atau pengemudi," katanya.

"Jika kesalahan bisa diidentifikasi nantinya bisa menetralisasi masalah. Tetapi, selama KRI Nanggala-402 tidak bisa kontak, maka tidak bisa menetralisasi masalah," tutur dia menambahkan.

Menurut Wisnu, jika mengacu pada kecelakaan kapal selam Kurf yang tenggelam di Rusia sampai dua bulan baru bisa ditangani, jadi kapal selam mengalami kecelakaan nuklirnya meledak. "Sementara di Indonesia ini kasus yang pertama, saya pikir ini menjadi refleksi pemerintah. Menilai diri sendiri apa yang kurang dari alutsista Indonesia," katanya.

Sebelumnya, Kapal selam KRI Nanggala-402 dikabarkan hilang kontak di perairan Bali bagian utara, Rabu pagi. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen TNI Achmad Riad menjelaskan, awal mula hilang kontaknya kapal selam KRI Nanggala-402 saat latihan di Perairan Bali pada pukul 03.46 waktu setempat, kapal selam KRI Nanggala melaksanakan penyelaman kemudian pada 04.00 melaksanakan penggenangan peluncur torpedo.

Saat ini, TNI telah mengerahkan lima KRI dan satu helikopter yang melakukan operasi pencarian dengan kekuatan yang lebih dari 400 orang dalam proses pencarian kapal selam KRI Nanggala-402.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement