REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani mengungkapkan masih adanya praktik sindikat pekerja migran.
“Pemberantasan sindikat pekerja migran belum maksimal,” kata Benny dalam rilis yang diterima Republika, Sabtu (17/4).
Berdasarkan catatan BP2MI, sejak 1 Januari 2020 hingga 15 Maret 2021 terdapat 178 ribu pekerja migran Indonesia (PMI) yang kembali ke tanah air yang telah tertangani. Para migran tersebut, kata dia, merupakan pekerja yang telah habis kontrak, dipulangkan terkait pandemi, dan sejumlah alasan lainnya.
Para PMI, lanjut Benny, juga mengalami persoalan penempatan dalam masa pandemi seperti sekarang. Setelah membuka kanal aduan sepanjang tahun ini, SBMI mencatat terdapat 643 kasus yang masuk. Di mana 75,74 persen menunjukkan penempatan yang non-prosedural, sementara kebanyakan kasus dialami perempuan. Persentasenya mencapai 53,6 persen, sedangkan laki-laki mencapai 46,35 persen.
PMI, menurut dia, kini sedang berhadapan dengan sindikat penempatan pekerja migran ilegal. Tak bisa dipungkiri, lanjut Benny, praktik mafia atau calo penempatan pekerja migran tumbuh subur karena adanya permintaan yang tinggi untuk mencari peluang kerja yang lebih baik di luar negeri.
“Akan tetapi, konsekuensinya adalah, pekerja ilegal ini akan berada di luar radar perlindungan negara, karena negara tidak tahu mereka berasal darimana saja, bekerja di mana dan sebagai apa,” kata Benny.
Praktisi Hukum Petrus Selestinus mengatakan, pemberantasan sindikat pekerja migran memang belum diterapkan secara maksimal. Anggota sindikat yang ditangkap, menurut dia, baru pelaku di lapangan sementara otak di balik sindikat belum tersentuh. “Otak di balik sindikat itu belum terjamah hukum,” kata dia.