Jumat 16 Apr 2021 05:30 WIB

Debris Flow Jadi Sebab Banyaknya Korban Siklon Seroja

Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan terdampak debris flow harus direlokasi.

Sejumlah petugas memotong pohon yang tumbang menimpa salah satu rumah karena diterjang gelombang kencang akibat badai Siklon tropis Seroja di Kota Kupang, NTT, Kamis (8/4/2021). Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Kupang mencatat sebanyak 1.264 rumah mengalami rusak berat, satu orang meninggal dunia dan tujuh orang luka berat dampak dari angin kencang pada Minggu (4/4).
Foto: ANTARA/Kornelis Kaha
Sejumlah petugas memotong pohon yang tumbang menimpa salah satu rumah karena diterjang gelombang kencang akibat badai Siklon tropis Seroja di Kota Kupang, NTT, Kamis (8/4/2021). Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Kupang mencatat sebanyak 1.264 rumah mengalami rusak berat, satu orang meninggal dunia dan tujuh orang luka berat dampak dari angin kencang pada Minggu (4/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyampaikan fenomena debris flow menjadi salah satu penyebab banyaknya korban meninggal dunia akibat Siklon Tropis Seroja. Debris flow berbeda dengan fenomena banjir bandang.

"Ada beberapa hal perlu diketahui mengingat begitu banyaknya korban. Terutama di tiga lokasi, meliputi Adonara, Lembata, dan Alor, yakni debris flow," ujar Plt Direktur Pemetaan dan Evakuasi Risiko Bencana BNPB, Abdul Muhari dalam konferensi pers daring tanggap darurat bencana Siklon Tropis Seroja yang dipantau di Jakarta, Kamis (15/4).

Baca Juga

Ia menyampaikan di Adonara, terutama di Kecamatan Ile Boleng, Adonara tercatat sebanyak 55 korban meninggal dan satu korban hilang. "Kecamatan itu mencatatkan kematian paling tinggi sehingga kita perlu melihat dan mempelajari mekanisme yang terjadi untuk bisa mencegah kerugian di masa depan," katanya.

Abdul Muhari mengemukakan, ada dua kejadian yang dominan di Kabupaten Adonara, yakni debris flow dan banjir bandang. "Debris flow selama ini kita kenal dengan banjir bandang, tapi sebenarnya bukan banjir bandang," ucapnya.

Debris flow merupakan aliran yang berkecepatan tinggi berisi batu-batu gunung dari atas ke bawah. Biasanya terjadi di kawasan bukit batu/gunung dengan lereng yang sangat curam dan memiliki banyak sebaran batuan lava yang tidak saling terikat dengan kuat satu dengan yang lain (unconsolidated material).

Material bawaan dari debris flow adalah batu dengan karakteristik luncuran atau gelindingan sangat kencang karena massa atau berat batu dan kecuraman yang tinggi. Sementara banjir bandang, dijelaskan, terjadi di kawasan yang Iebih rendah dibandingkan dengan kawasan rawan debris flow dengan karakteristik material bawaan biasanya pohon-pohon yang terbawa aliran arus air.

Berdasarkan survei yang dilakukan tim BNPB, Abdul Muhari mengatakan, batuan andesit sangat banyak ditemui di atas Kecamatan Ile Boleng. "Dan batuan itu tidak mengikat satu sama lain, hanya terikat dengan tanah dan pasir. Sehingga kalau terjadi curah hujan yang tinggi, maka lapisan pasir atau tanah yang mengikat batuan itu akan tergerus sehingga sangat mudah tergelincir ke bawah hingga menyebabkan kerusakan," paparnya.

Mengantisipasi dampak debris flow ke depannya, Abdul Muhari menyarankan masyarakat Ile Boleng tidak menempati jalur debris flow. Aam, demikian ia biasa disapa pun sependapat dengan Presiden Joko Widodo agar masyarakat yang tinggal di jalur debris flow dipindahkan ke tempat lain.

Menurut dia, jalur debris flow sudah terbentuk sehingga kalau terjadi siklon tropis di masa mendatang maka besar kemungkinan bencana itu akan terulang. "Kita harus ingat bahwa bencana adalah peristiwa yang berulang termasuk hidrometeorologi sehingga sangat tepat saran Presiden RI untuk merelokasi warga," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement