Kamis 08 Apr 2021 18:44 WIB

Skenario Pemekaran Papua oleh Pemerintah dalam RUU Otsus

Skenario pemekaran wilayah di Papua bergantung pada kemampuan keuangan negara.

Mendagri Tito Karnavian.
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Mendagri Tito Karnavian.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika, Nawir Arsyad Akbar

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyampaikan skenario pemekaran atau daerah otonom baru (DOB) di Papua. Hal ini diutarakan Tito dalam rapat kerja bersama Pansus Otsus Papua DPR RI dalam rangka merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua, Kamis (8/4).

Baca Juga

"Terkait dengan adanya aspirasi pemekaran, ini aspirasi banyak sekali datang, ini banyak  bergelombang, baik ke pesiden maupun ke kami, Kemenko Polhukam, sehingga ada skenario untuk adanya pemekaran," ujar Tito.

Ia mengatakan, skenario pemekaran tersebut meliputi empat wilayah adat di Papua. Rencana provinsi baru di Papua antara lain Papua Selatan, Papua Tengah, Pegunungan Tengah, dan Papua Barat Daya.

Tito memerinci, Papua Selatan terdiri dari lima kabupaten yakni Merauke, Asmat, Mappi, Boven Digoel, dan Pegunungan Bintang. Kemudian, tokoh masyarakat dan birokrat menginginkan dua provinsi berbeda untuk masing-masing Wilayah Adat La Pago (Pegunungan Tengah) dan Mee Pago (Papua Tengah).

Pegunungan Tengah terdiri dari Kabupaten Jayawijaya, Lanny Jaya, Tolikara, Nduga, Puncak Jaya, Yalimo, Yahukimo, Membramo Tengah, dan Puncak. Sedangkan, Papua Tengah terdiri dari Kabupaten Dogiyai, Deiyai, Nabire, Intan Jaya, Paniai, dan Mimika.

Tito menambahkan, ada juga aspirasi pembentukan provinsi Papua Barat Daya, yang terdiri dari Raja Ampat, Sorong, Sorong Selatan, Maybrat, Tambrauw, dan Kota Sorong, tetapi pemerintah belum melihatnya secara bulat. Dengan adanya rencana pemekaran itu, maka kabupaten/kota di Provinsi Papua dan Papua Barat akan berubah.

Tito mengatakan, Papua dengan Wilayah Adat Saereri dan Mamberamo Tabi, terdiri dari Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Keerom, Sarmi, Mamberamo Raya, Biak Numfor, Supiori, Kepulaun Yapen, dan Waropen. Papua Barat terdiri dari Manokwari, Pegunungan Arfak, Manokwari Barat, Teluk Bintuni, Teluk Wondama, Fak Fak, dan Kaimana.

Menurut dia, skenario pemekaran wilayah di Papua bergantung pada kemampuan keuangan negara dan hasil revisi UU Otsus Papua. Tito mengatakan, pemerintah mengusulkan perubahan pasal yang berisi ketentuan pemekaran wilayah di Papua untuk mendukung realisasi skenario pemekaran Papua.

Pasal 76 dalam UU 21/2001 berbunyi, "Pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP (Majelis Rakyat Papua) dan DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua) setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi, dan perkembangan di masa datang".

Sementara, pemerintah menambahkan ketentuan pada Pasal 76 dalam RUU Otsus Papua menjadi tiga ayat. Ayat (1) berisi ketentuan yang sama dengan UU 21/2001 di atas.

Pada Ayat (2), "Pemerintah dapat melakukan pemekaran daerah provinsi menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan kesatuan sosial budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi, dan perkembangan di masa datang".

Pada Ayat (3), "Pemekaran daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak melalui tahapan daerah persiapan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai pemerintahan daerah. Alasan penembahan ayat ini dalam rangka percepatan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat".

Selain itu, menurut Tito, opsi perubahan ketentuan ini disampaikan karena aspirasi pemekaran kerap terkunci saat hanya mengandalkan persetujuan MRP dan DPRP. Sedangkan, aspirasi pemekaran wilayah di Papua sangat tinggi.

"Karena opsi di MPRP-DPRP persetujuan, kalau terkunci di sana, kalau deadlock di situ maka sedangkan aspirasi pemekaran cukup tinggi kita rasakan," kata Tito.

Ia pun menyinggung pengalaman krisis sebelum pembentukan Papua Barat, terjadi kesulitan koordinasi dan komunikasi para pejabat di setiap wilayah di Papua. Meskipun ada pro dan kontra atas pembentukan daerah baru Papua Barat, Tito mengeklaim hasilnya kini terjadi percepatan pembangunan dan mempersingkat birokrasi di Papua Barat.

"Ini yang kita harapkan sama, mereplikasi bagaimana percepatan Papua Barat berubah, mereplikasinya di Papua yang masih beberapa daerah cukup tertinggal melalui menyerap aspirasi pemekaran tersebut," kata Tito.

Respons DPR

Anggota DPR Fraksi Partai Golkar Trifena M Tinal berharap adanya keberpihakan kepada masyarakat Papua dalam revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Termasuk, jika terealisasinya pemekaran di daerah tersebut.

"Apabila ada persiapan pemekaran wilayah di Papua agar tidak hanya ditetapkan oleh pemerintah, tetapi harus mendengar masyarakat Papua, dibahas dan disetujui oleh DPR," ujar Trifena dalam rapat kerja Pansus RUU Otsus Papua, Kamis (8/4).

Agar pembangunannya di Papua lebih berkembang dan merata, ia berharap adanya pengawasan yang lebih ketat terhadap dana Otsus Papua. Sebab selama ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan indikasi adanya penyalahgunaan dana tersebut.

"Berharap dapat mendorong perbaikan mekanisme pengawasan dan mampu menjawab persoalan kesenjangan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Agar lebih mengikat dan kuat secara hukum," ujar Trifena.

Di samping itu, ia mengharapkan penggunaan dana Otsus Papua tak hanya ditujukan pada pembangunan fisik di sana. Namun juga perlu menyasar sektor lain, seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi.

"Khususnya terkait dengan kesejahteraan dan kemiskinan yang bersumber dari pembangunan yang belum maksimal dan merata," ujar Trifena yang merupakan legsilatro dari daerah pemilihan (Dapil) Papua itu.

Ketua Panitia Khusus (Pansus) revisi UU Otsus Papua, Komarudin Watubun menjelaskan bahwa pihaknya sudah menyusun jadwal pembahasan RUU tersebut. Rencananya, persetujuan untuk dilanjutkan ke pembicaraan tingkat II dilakukan pada Juli 2021.

"Rencana paripurna pada tanggal 15 juli 2021 untuk memutuskan persetujuan pembicaraan tingkat kedua," ujar Komarudin dalam rapat kerja Pansus RUU Otsus Papua, Kamis (8/4).

Pansus RUU Otsus Papua juga direncanakan melakukan kunjungan kerja pada masa reses Masa Sidang keempat. Setelah itu, pihaknya akan melanjutkan repat kerja dengan Kementerian atau lembaga terkait.

"Dengan beberapa kementerian terkait. Rapat dengar pendapat, contoh Mendikbud, Menkes, dan juga tentang ekonomi," ujar Komarudin.

Ia menjelaskan, rapat dengan kememetrian atau lembaga terkait diperlukan untuk menghadirkan kesinambungan regulasi lain dengan UU Otsus Papua nanti. Pasalnya selama ini, Komarudin menilai otsus Papua tak berjalan baik akibat adanya tumpang tindih kewenangan.

"Selama ini otsus tidak jalan baik, karena undang-undang sektoral menabrak Undang-Undang Otsus. Jadi kita 20 tahun berkelahi pada soal kewenangan dan tidak ada solusinya," ujar Komarudin.

Sebelumnya, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib, mengkritisi terkait rencana pemerintah yang hanya akan merevisi dua pasal Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Dua pasal yang dimaksud yaitu, pasal 34 tentang 2 persen Dana Alokasi Umum (DAU) dan pasal 76 tentang pemekaran Papua.

"Dua pasal ini menurut pemerintah pusat bermasalah sedangkan pasal-pasal lain tidak bermasalah. Saya pikir ini pemikiran sangat konyol dan bodoh, ini tidak benar," kata Timotius kepada Republika, Rabu (31/3).

Timotius mengatakan, permasalahan UU Otonomi Khusus (otsus) Papua selama ini tidak hanya di dua pasal tersebut. Dirinya menyebutkan sejumlah pasal yang selama ini dinilai belum dirasakan oleh masyarakat Papua.

"Contoh pasal 28 pembentukan partai lokal belum pernah terjadi. Kemudian pembentukan KKR belum pernah terjadi. Terus pasal-pasal lain, semua ini kan dia vakum karena terbentur dengan undang-undang lain," ujar Timotius.

photo
Tiga kekalahan jokowi atas gugatan rakyat - (Data Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement