Kamis 08 Apr 2021 13:57 WIB

Perlukah Melabel KKSB Papua sebagai Teroris?

Wacana mengelompokkan KKB dan OPM Papua sebagai teroris berpotensi abuse of power.

Anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) diperlihatkan ketika menyerahkan diri kepada Satgas Pamtas Yonif Para Raider 328/Dirgahayu di Skouw, Distrik Muara Tami, Jayapura, Papua, Sabtu (25/1/2019). BNPT tengah melakukan kajian terkait bisa tidaknya KKSB Papua dikategorikan sebagai organisasi teroris.
Foto: Antara/Gusti Tanati
Anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) diperlihatkan ketika menyerahkan diri kepada Satgas Pamtas Yonif Para Raider 328/Dirgahayu di Skouw, Distrik Muara Tami, Jayapura, Papua, Sabtu (25/1/2019). BNPT tengah melakukan kajian terkait bisa tidaknya KKSB Papua dikategorikan sebagai organisasi teroris.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Antara

Wacana pelabelan kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB) di Papua sebagai organisasi teroris dinilai harus dilakukan dengan pertimbangan matang. Niat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk mendefinisikan KKSB sebagai teroris ditakutkan justru akan membuat kondisi di Papua kian terpuruk.

Baca Juga

Sejumlah organisasi masyarakat sipil meminta pemerintah membatalkan wacara redefinisi KKSB di Papua sebagai organisasi teroris. Mereka menilai, langkah itu merupakan langkah yang emosional dan tak memikirkan dampak yang akan terjadi ke depan.

"Hal tersebut merupakan langkah yang emosional dan tidak memikirkan dampak-dampak yang terjadi ke depan," ujar Koordinator KontraS, Fathia Maulidiyanti, yang menjadi salah satu perwakilan organisasi masyarakat sipil itu, saat dikonfirmasi, Kamis (8/4).

Fathia menyebutkan, pendekatan dengan metode stigmatisasi justru akan semakin menambah rumit persoalan dan tak akan menyelesaikan persoalan ketidakadilan di Papua. Dia mengatakan, situasi di Papua akan semakin memburuk dengan wacana tersebut.

"Wacana mengelompokkan KKB dan TPN-OPM dalam klasifikasi organisasi teroris adalah langkah yang terburu-buru serta berpotensi abuse of power," ungkap dia.

Dia menjelaskan, pengelompokan sebagai teroris terkait masalah akuntabilitas dalam penurunan pasukan TNI-Polri di Papua. Pihaknya melihat wacana tersebut hanya menjadi celah bagi negara untuk melegitimasi langkah TNI dalam keamanan domestik melalui UU Terorisme yang berakibat pada makin buruknya situasi di Papua.

Hal itu dia simpulkan dari berbagai catatan, yakni TNI mencoba kembali masuk ke ranah sipil, seperti tidak berjalannya restrukturisasi komando teritorial. Yang pihaknya justru lihat ialah itu semakin berkembang sejalan dengan pemekaran provinsi dan kabupaten yang berpotensi dimanfaatkan sebagai instrumen politik.

"Dan, peradilan militer yang sejauh ini belum dapat menampilkan dirinya sebagai sebuah mekanisme peradilan yang paling efektif dan objektif dalam mengadili kasus-kasus yang melibatkan anggota TNI," kata dia.

Dia juga menyatakan, penggunaan kekerasan hanya akan memicu eskalasi kekerasan. Kemudian, hal tersebut dapat mengakibatkan pelanggaran serius hak asasi manusia (HAM) dan semakin kentalnya ketidakpercayaan warga Papua atas otoritas Indonesia.

"Upaya damai meskipun rumit dan memakan waktu, harus terus dilakukan dengan memberi kesempatan kepada pihak netral yang percaya kelompok bersenjata untuk menjajaki perundingan dan mengomunikasikan tuntutan, apa pun itu," kata dia menjelaskan.

Pelabelan teroris pun akan berdampak ke masyarakat Papua secara psikososial. "Dampak pelabelan teroris terhadap TPN-OPM cepat atau lambat juga akan membawa dampak psikososial di masyarakat," ujar Fathia.

Fathia mengatakan, orang yang berasal dari Papua yang menetap di daerah lain di Indonesia berpotensi dilabeli sebagai teroris oleh masyarakat setempat. Menurut dia, belajar dari rangkaian peristiwa sebelumnya, kultur rasialisme belum hilang sepenuhnya di Indonesia.

"Dengan label tersebut, kejadian rasialisme, seperti di asrama Papua di Yogyakarta dan Surabaya, akan dengan mudah terjadi pada asrama mahasiswa Papua lainnya," kata dia.

Fathia menyebut, pemerintah harus membuka akses media independen untuk menghindari kesimpangsiuran berita, stigma kriminal, dan narasi atau informasi yang tidak seimbang. Pemerintah juga harus membuka akses bagi pemantau dan bantuan kemanusiaan untuk masyarakat sipil yang terdampak akibat krisis itu.

"Situasi ini juga harus dilihat sebagai ketidakpuasan masyarakat Papua terhadap praktk kebijakan pemerintah di Papua," kata Fathia.

Atas dasar itu, pihaknya meminta pemerintah untuk melakukan pendekatan yang lebih humanis di Papua, bukan dengan pendekatan keamanan ataupun dengan cara-cara militeristik dan kental akan kekerasan. Itu bisa dimulai dengan menarik pasukan dari beberapa daerah di Papua.

"Pendekatan penyelesaian konflik harus dilakukan secara komprehensif dan menyentuh akar persoalan. Pemerintah harus segera mencari titik temu dan membangun dialog dengan perwakilan representatif dan kredibel yang mewakili dan atau diakui oleh rakyat Papua," ungkap dia.

Karena itu, perwakilan ormas mendorong pemerintah membatalkan wacana redefinisi TPN-OPM sebagai organisasi teroris. Hal tersebut dinilai sebagai langkah emosional dan tidak memikirkan dampak-dampak yang terjadi ke depan. Pendekatan dengan metode stigmatisasi justru semakin menambah rumit persoalan dan tak akan menyelesaikan persoalan ketidakadilan.

Lalu, pemerintah pusat juga diminta untuk memperkuat komunikasi dengan seluruh elemen pemerintah daerah, seperti gubernur, bupati, DPRD, kapolda, kapolres, tokoh masyarakat adat, pemimpin agama, dan tokoh pemuda. Komunikasi perlu dijalin untuk duduk bersama mencari jalan keluar dan mencari format ideal jalan penyelesaian apa yang tepat dan menghentikan kekerasan yang telah terjadi berlarut-larut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement