Selasa 06 Apr 2021 22:46 WIB

Analisis: Kalkulasi Politik dalam Krisis Myanmar

Krisis Myanmar membelah sikap negara-negara ASEAN, selain ratusan nyawa jadi korban

Rep: Anadolu/ Red: Elba Damhuri
Miss Grand Myanmar ketika mengikuti demonstrasi menentang junta
Foto:

Beberapa negara di mainland Southeast Asia atau yang biasa disebut Indocina pada era Perang Dingin seperti Myanmar, Laos, dan Kamboja, memang tidak asing dengan praktik kudeta dalam politik.

Sejak merdeka pada 1948 dari kolonialisme Inggris, Myanmar mengalami kudeta pertama kali pada tahun 1962. Tatmadaw di bawah Jenderal Ne Win ketika itu menggulingkan pemerintah sipil. Setelah itu dinamika politik terus dinamis, kudeta kembali terjadi 1988 dan 1990.

Demokratisasi yang dimotori NLD cukup mengakar dalam struktur sosial-politik pemerintahan sipil Myanmar. Inilah yang menyebabkan gelombang perlawanan kian membesar.

Apalagi kudeta terjadi di saat warga Myanmar menghadapi krisis ekonomi akibat Pandemik Covid19. Sekali lagi, apakah Jenderal Min ‘salah’ perhitungan?

Membaca pascakrisis

Ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi menyusul situasi krisis di Myanmar saat ini.

Pertama, rezim junta militer tunduk pada tekanan internasional untuk menghentikan kekerasan. Namun hal ini tidak berarti gelombang anti-kudeta juga otomatis berhenti. Sebab tuntutan utama pro-demokrasi adalah pembatalan kudeta dan menolak pemilu ulang yang ditawarkan junta militer.

Apakah kedua tuntutan ini akan dipenuhi oleh junta militer? Sementara konsekuensi dari kemungkinan ini, Jenderal Min dapat dituntut ke mahkamah internasional atas kejahatan militer. Bukan saja kejahatan militer sejak kudeta 1 Februari, tapi juga kejahatan HAM terhadap etnis Rohingya.

Kedua, rezim junta militer tetap pada sikapnya menghadapi para demonstran anti-kudeta melalui penggunaan cara-cara militer. Kekerasan akan terus berlangsung. Korban akan terus berjatuhan.

Konsekuensinya, hal ini akan mendorong kristalisasi perlawanan terhadap rezim, termasuk dari sekitar 17 kelompok milisi etnis bersenjata yang memiliki keanggotaan lebih dari 20 ribu orang.

Tentunya, hal ini juga pada akhirnya dapat memaksa intervensi kekuatan internasional, dan berdampak terhadap keamanan di kawasan. 

Ketiga, baik opsi pertama maupun kedua, Myanmar terjebak pada ancaman perang saudara. Iklim kudeta yang terjadi saat ini berbeda dengan sebelumnya yang terjadi di era Perang Dingin. 

Dukungan masyarakat sipil terhadap demokratisasi yang dimotori NLD satu dekade terakhir akan turut menentukan masa depan krisis.

ASEAN dan langkah Indonesia

Sebagai satu-satunya organisasi regional yang menghimpun negara-negara di Asia Tenggara, ASEAN diuji sikap dan perannya menghadapi krisis Myanmar.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement