Senin 05 Apr 2021 17:19 WIB

KPK tak Tepat Hentikan Kasus BLBI, Ini Argumentasi Hukumnya

KPK memang punya kewenangan menghentikan kasus, tapi kenapa BLBI yang dipilih?

Foto Sjamsul Nursalim di antara para demonstran yang meminta pengusutan kasus dugaan korupsi BLBI. KPK pada 1 April 2021 mengumumkan penghentikan penyidikan perkara (SP3) BLBI dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim. (ilustrasi)
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Foto Sjamsul Nursalim di antara para demonstran yang meminta pengusutan kasus dugaan korupsi BLBI. KPK pada 1 April 2021 mengumumkan penghentikan penyidikan perkara (SP3) BLBI dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Dian Fath Risalah

KPK telah resmi menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan tersangka Sjamsul Nursalim. Tindakan KPK menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus BLBI menuai kritik hingga gugatan praperadilan ke KPK.

Baca Juga

Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengkritisi langkah KPK. Menurutnya, wajar jika publik mempermasalahkan keputusan lembaga yang dipimpin Firli Bahuri itu.

"Ketika tidak terjadi hal seperti itu (kerugian besar dari kasus BLBI), tapi diberikan SP3 ini tentu wajar kalau kemudian publik mengkritisi soal ini. Kami pun tentu akan mengkritisi," ujar Arsul di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/4).

Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, lembaga antirasuah itu memang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SP3 untuk kasus yang sudah disidik selama dua tahun, tapi tak ada kemajuan. Namun, dipilihnya kasus BLBI disebutnya tak tepat.

Pasalnya, pasangan suami istri Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan Itjih Nursalim belum juga diperiksa. Bahkan, keduanya tak pernah datang memenuhi panggilan KPK.

"Statusnya in absentia, nah orang-orang katakanlah tidak kooperatif dalam menghadapi proses-proses penegakan hukum kok malah dijadikan contoh kasus SP3 yang pertama," ujar Arsul.

Di samping itu, ia juga menyoroti alasan KPK yang memberikan SP3 berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang membebaskan Syafruddin Arsyad Temenggung. Sebab, kasus tersebut disebut Arsul bukan merupakan ranah pidana.

Putusan MA, kata Arsul, tidak serta-merta harus diikuti oleh KPK. Karena sistem peradilan di Indonesia tidak menganut yuresprudensi tetap.

"Hemat saya sistem peradilan kita tidak menganut prinsip yuresprudensi tetap, tidak menganur prinsip apa yang di negara-negara common law system," ujarnya.

Anggota Komisi III Fraksi Partai Demokrat Hinca Panjaitan mengatakan, KPK perlu memberikan penjelasan kepada publik terkait keputusannya itu. SP3 yang diberikan oleh KPK dinilainya dapat menghentikan upaya penyidikan mega skandal yang merugikan negara senilai Rp 4,58 triliun.

"Penjelasan KPK sangat dibutuhkan untuk memperjelas dan menjawab kritik masyarakat terhadap KPK berkaitan dengan SP3 yang ada," ujar Hinca.

Penerbitan SP3 kasus BLBI dinilainya juga menjadi momentum untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja KPK. Menurutnya, hingga saat ini banyak hal yang menjadi bahan evaluasi bagi publik berkaitan dengan kinerja lembaga tersebut.

Komisi III, kata Hinca, berpeluang untuk segera memanggil KPK terkait keputusannya itu. Agar agenda pemberantasan korupsi takk tergadaikan oleh kepentingan satu dua orang, yang justru merugikan keuangan negara.

"Saya memang menghendaki agar Komisioner KPK dan Dewas KPK dipanggil secepatnya oleh Komisi III. Lalu lintas argumentasi dan opini dari publik sudah semakin menggelembung dan jumlahnya sangat banyak, oleh kebijakan yang diambil KPK dalam mengeluarkan SP3 tersebut," ujar Hinca.

Argumentasi senada dengan Komisi III DPR sebelumnya dilontarkan oleh Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman. Boyamin menilai, putusan bebas Syafrudin Arsyad Temenggung yang dijadikan dasar SP3 adalah tidak benar.

Menurut Boyamin, dalam surat dakwaan atas Syafrudin dengan jelas didakwa bersama-sama dengan Dorojatun Koentjoro-Jakti.

"Sehingga meskipun SAT telah bebas namun masih terdapat Penyelenggara Negara yaitu Dorojatun Koentjoro-Jakti," kata Boyamin dalam keterangannya, Jumat (2/4).

Menurut Boyamin, KPK telah lupa ingatan atas surat dakwaan yang telah dibuat dan diajukan ke Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada 2018. Dalam surat dakwaan tersebut tertulis bahwa terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode 2002 sampai 2004 bersama-sama dengan Dorojatun Kuntjoro, Sjamsul Nursalim Dan Itjih S. Nursalim telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan, secara melawan hukum.

Terdakwa Syafruddin selaku Ketua BPPN melakukan penghapusan piutang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) kepada petani tambak (petambak) yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM) serta menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham meskipun Sjamsul Nursalim belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak untuk diserahkan kepada BPPN seolah-olah sebagai piutang yang lancar (misrepresentasi). Hal tersebut bertentangan dengan TAP MPR-RI Nomor XMPR/2001.

Boyamin menegaskan, putusan bebas Syafrudin Arsyad Temenggung juga tidak bisa dijadikan dasar SP3, karena NKRI menganut sistem hukum pidana Kontinental warisan Belanda, yaitu tidak berlakunya sistem yurisprudensi. Artinya, putusan atas seseorang tidak serta merta berlaku bagi orang lain. MAKI pun pada 2008 pernah memenangkan praperadilan atas SP3 melawan Jaksa Agung atas perkara yang sama.

"Di mana dalam putusan Praperadilan tahun 2008 tersebut berbunyi pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana korupsi," ucap Boyamin.

Boyamin pun memastikan pihaknya akan segera mengajukan gugatan praperadilan untuk membatalkan keputusan KPK yang menghentikan penyidikan kasus BLBI. Semestinya, sambung Boyamin, KPK tetap mengajukan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim ke Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dengan peradilan in absentia atau sidang tanpa hadirnya terdakwa.

"MAKI merasa keadilan masyarakat tercederai dikarenakan SP3 diberikan kepada orang yang kabur dan buron," kata Boyamin, Jumat (2/4).

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai penghentian penyidikan kasus BLBI merupakan efek buruk dari revisi UU KPK. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, tidak bisa dipungkiri, selain karena dampak revisi UU KPK, pangkal persoalan lain penghentian penyidikan ini juga berkaitan langsung dengan Mahkamah Agung dan kebijakan Komisioner KPK.

"Untuk MA sendiri, kritik dapat disematkan tatkala lembaga kekuasaan kehakiman itu memutus lepas Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dan kemudian diikuti penolakan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dari KPK, " kata Kurnia dalam keterengan yang diterima Republika, Jumat (2/4).

Patut untuk dicatat, putusan lepas yang dijatuhkan MA terhadap SAT jelas keliru dan diwarnai dengan kontroversi. Betapa tidak, kesimpulan majelis hakim kala itu justru menyebutkan bahwa perkara yang menjerat SAT bukan merupakan perbuatan pidana.

Padahal, dalam fakta persidangan pada tingkat judex factie sudah secara terang benderang menjatuhkan hukuman penjara belasan tahun kepada terdakwa. Lebih jauh lagi, perdebatan perihal pidana atau perdata seharusnya sudah selesai tatkala permohonan praperadilan SAT ditolak oleh Pengadilan Negeri.

Sebab, waktu mengajukan permohonan praperadilan, SAT melalui kuasa hukumnya juga membawa argumentasi yang sama.

Selain itu, MA juga gagal dalam melihat kemungkinan menerima PK dari penuntut umum di tengah kejanggalan putusan kasasi tersebut.

Selain sudah banyak preseden yang menerima PK dari penuntut umum, juga terdapat satu isu krusial, yakni pelanggaran etik oleh salah satu majelis hakim persidangan Tumenggung, Syamsu Rakan Chaniago.

"Dapat dibayangkan, dua pekan sebelum putusan lepas itu dibacakan, hakim majelis itu justru berhubungan, bahkan bertemu langsung dengan kuasa hukum Tumenggung, yakni Ahmad Yani," kata Kurnia.

ICW memandang, perbuatan melawan hukum Tumenggung lebih menitikberatkan pada tindakan yang bersangkutan saat mengeluarkan SKL terhadap obligor BLBI. Sedangkan Nursalim sendiri karena menjaminkan aset yang seolah-olah senilai Rp 4,8 triliun, akan tetapi setelah dilakukan penjualan tahun 2007 hanya bernilai Rp 220 miliar.

"Lagi pun, hingga saat ini KPK juga belum berhasil mendeteksi atau pun menangkap Nursalim," kata Kurnia.

Semestinya, lanjutnya, KPK terlebih dahulu mendapatkan keterangan dari Sjamsul atau pun Itjih untuk kemudian melihat kemungkinan meneruskan penanganan perkara ini. Sehingga, dapat disimpulkan keputusan untuk mengeluarkan SP3 ini terlalu dini dan terkesan hanya ingin melindungi kepentingan pelaku.

"Namun, daripada itu, penting untuk ditekankan bahwa penghentian ini bukan berarti menutup kemungkinan untuk menjerat Nursalim kembali pada waktu mendatang. Sebab, Pasal 40 ayat (4) UU KPK menjelaskan bahwa SP3 dapat dicabut tatkala ditemukan adanya bukti baru dan putusan praperadilan," tegas Kurnia.

 

photo
Jejak Kasus Sjamsul Nursalim - (Infografis Republika.co.id)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement