REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Penemuan kasus tuberkulosis (TBC) di Indonesia menurun tajam akibat pandemi Covid-19. Sebab, sebagian besar sumber daya ditujukan untuk mengatasi corona sehingga penanggulangan penyakit lainnya terabaikan, termasuk TBC.
Dosen FKKMK UGM, dr Rina Triasih mengatakan, data Kemenkes 2020 mencatat hanya ada 271.750 kasus TBC yang ternotifikasi atau ditemukan. Turun tajam dari 2019 sekitar 568.987 kasus, dan perkiraan jumlah kasus pada 2020 sekitar 840.000.
"Hampir seluruh sumber daya di sektor kesehatan maupun sektor lain dioptimalkan menangani Covid-19. Kondisi tersebut berdampak ke penemuan kasus dan penanganan TBC menurun signifikan," kata Project Leader Zero TBC Yogyakarta tersebut.
Kondisi itu menjadi tantangan pemerintah yang memiliki target dapat mengeliminasi TBC pada 2030. Dengan masih banyaknya pasien TBC yang belum didiagnosis dan diobati, berarti masih banyak sumber penularan TBC di tengah masyarakat.
Bila tidak tertangani dengan baik dan benar, tidak hanya akan menambah jumlah kasus TBC baru, tapi bisa meningkatan angka kematian. Seperti diketahui, saat ini Indonesia menjadi negara penyumbang kasus TBC terbesar kedua di dunia.
Peneliti Pusat Kajian Kedokteran Tropis UGM ini menekankan, perlu upaya tambahan yang inovatif dan komprehensif agar Indonesia dapat mencapai target. Pendekatan komprehensif, temukan, obati, dan cegah saat ini sangat diperlukan.
Pendekatan ini turut dipakai Zero TB Yogyakarta berkontribusi mengeliminasi TBC. Langkah menurunkan kasus TBC tidak hanya dengan menemukan kasus dan melakukan pengobatan saja, tapi juga memberikan terapi pencegahan.
Pada 2006, WHO sudah merekomendasikan pemberian terapi pencegahan TBC, yang saat itu dikhususkan untuk anak balita yang kontak erat dengan pasien TBC dan untuk pasien HIV. Namun, Rina mengingatkan, implementasi di Indonesia belum maksimal.
"Beberapa laporan dan penelitian telah menunjukkan eliminasi TBC 2030 tidak akan tercapai jika hanya mengobati pasien yang sakit TBC. Tanpa dikombinasi dengan pemberian terapi pencegahan akan sulit mencapai eliminasi TBC 2030," ujar Rina.
Untuk itu, penting pendekatan komperehensif dalam pemberantasan TBC. Sebab, pemberantasan TBC bukan hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan, tapi semua pihak sehingga harus ada kerja sama dan sinergi lintas sektoral.
Rina mengingatkan, TBC penyakit infeksi menular disebabkan bakteri mycobaterium tubercolusis yang menular melalui udara dari droplet penderita saat bersin, batuk, bicara. Kumannya mampu bertahan beberapa jam di lingkungan lembab dan gelap.
TBC dapat menginfeksi semua orang di segala usia dan dapat menyerang berbagai organ tubuh. Gejala TBC di orang dewasa berupa batuk selama 2-3 pekan, bahkan batuk darah, berat badan turun, tubuh letih dan lesu, serta berkeringat malam.
TBC merupakan salah satu dari 10 penyakit penyebab kematian terbesar dunia. Bahkan, jadi penyebab kematian nomor satu di antara penyakit infeksi tunggal. Meski begitu, TBC dapat disembuhkan melalui pengobatan selama enam bulan.
"TBC bisa disembuhkan. Obatnya sudah ditemukan dan disediakan gratis. Hanya, memang pengobatannya lama, sehingga menuntut ketaatan pasien dalam meminum obat," kata Rina.
Bila pasien tidak taat menjalani pengobatan, ini bisa memperberat penyakit yang dapat menyebabkan kematian atau kuman TBC kebal obat. TBC kebal obat memerlukan pengobatan lebih kompleks dan jangka panjang, serta efek samping lebih besar.
"Kalau sudah terjadi resistensi, maka risiko kematiannya tinggi. Oleh sebab itu, pasien harus benar-benar taat minum obat TBC sampai tuntas agar tidak terjadi resistensi," ujar Rina.