REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Wakil Ketua Komisi IV DPR, Dedi Mulyadi memberikan sejumlah catatan terkait kinerja Badan Urusan Logistik (Bulog). Dedi menilai daya serap bulog terhadap gabah petani selama ini dinilai sangat rendah. Menurutnya rendahnya daya serap Bulog karena kemampuan keuangan bulog yang sangat terbatas.
"Andaikata memiliki daya serap juga harga yang dari Bulog lebih rendah dibanding harga pengepul, tengkulak, karena standardisasinya kan terlalu banyak. Sedangkan bandar-bandar ini kan beli-beli aja kan mereka tidak pernah terlalu mempersoalkan standardisasi kan," kata Dedi kepada Republika.co.id, Jumat (26/3).
Kemudian, dirinya juga menyoroti soal ketidakmampuan Bulog menjual berasnya langsung ke pasar. Sebelumnya Bulog bisa menjual berasnya karena ada program beras sejahtera (rastra), dan beras miskin (raskin).
Baca juga : Bulog: Tak Perlu Buru-Buru Impor Beras
"Sekarang kan diubah jadi bantuan pangan non tunai kan. Bantuan pangan non tunai itu menyerap gabah beras dari petani dari bandar di setiap daerah. Ketika diperbandingkan dengan beras Bulog rata-rata beras Bulog kalah oleh beras para bandar itu," ujarnya.
Ditambah lagi, dikatakan Dedi, Bulog tidak punya penyimpanan gudang yang sesuai standardisasi. Selama ini beras di Bulog hanya disimpan di lantai dengan beralaskan kayu tanpa disediakan penghangat di ruangan. "Ini yang akibatkan beras Bulog cepat rusak," tuturnya
Melihat persoalan tersebut ia menilai perlu ada pengelolaan yang harus diperbaiki, salah satunya yaitu melalui kebijakan-kebijakan yang lebih tepat. Politikus Partai Golkar itu mengimbau agar pemerintah segera membentuk Badan Pangan Nasional.
"Segeralah pemerintah mengesahkan Badan Pangan Nasional sesuai dengan amanah undang-undang," ujar Dedi.
Dengan adanya Badan Pangan Nasional tersebut maka fungsi Bulog tidak lagi bersifat komersial melainkan lebih pada aspek sosial. Manajemen pengelolaan seperti itu juga sudah dilakukan negara Thailand sebelumnya. Kedepan, Badan Pangan Nasional dan Bulog bisa meniru konsep Thailand dalam pengelolaan pangan.
"Jadi gabah petani atau jagung petani, kedelai petani itu dibeli oleh pemerintah, nanti pemerintah bisa menghitung dengan cepat kebutuhan lebih atau kurangnya. Kalau Thailand begitu lebih langsung dijual keluar kan, gudangnya penuh, jadi petani itu setiap panen punya kepastian harga," terangnya.
Sementara itu, anggota Komisi IV DPR Daniel Johan melihat sejauh ini kinerja Bulog sudah baik. Terkait adanya 400 ribu ton beras yang turun mutu, ia berharap ada solusi lain untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
"Salah satunya justru jangan dibebani dengan impor yang baru dulu," ucapnya kepada Republika.co.id, Jumat (26/3).
Baca juga : Pemerintah Larang Mudik Lebaran Tahun Ini
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mempertanyakan rencana pemerintah melakukan impor beras. Secara tegas ia menyebut bahwa kebijakan impor satu juta ton beras bukan kebijakan tepat. "Jika alasan untuk stok/cadangan beras, pemerintah tinggal beli beras dari petani sebanyak-banyak dengan harga yang baik. Lalu buat apa program food estate kalau ujung-ujungnya impor beras dari negara lain," ucapnya.
Menurut Daniel, tujuan awal food estate adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan secara nasional. Ia menilai kebijakan impor beras justru merugikan petani karena harga gabah menjadi anjlok.
"Kapan kita mau mewujudkan kemandirian apalagi kedaulatan di bidang pangan bila seperti ini? Saya mohon jangan lakukan impor jika dilakukan pada saat petani sedang panen raya," ujarnya.