REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dedy Darmawan Nasution, Febrianto Adi Saputro, Antara
Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso (Buwas), mengutarakan kegalauannya menghadapi masalah penyimpanan stok cadangan beras pemerintah atau CBP yang terus menumpuk. Beras tersebut menumpuk karena minim dalam penyalurannya.
Di tengah menumpuknya beras Bulog, muncul wacana impor beras dari Thailand. Saat ini, Bulog tak lagi memiliki tugas untuk menyalurkan beras dalam bantuan sosial yang jumlahnya mencapai 2,6 juta per tahun. Akibatnya, Bulog kehilangan pasar dan menghadapi risiko karena harus menyimpan beras dalam waktu lama.
Di sisi lain, penugasan untuk pengadaan beras terus berjalan. Bahkan, beras sisa impor tahun 2018 masih tersedia di gudang Bulog.
Buwas mengatakan, biaya penyerapan gabah atau pengadaan beras beserta perawatannya menggunakan pinjaman kredit komersial dari perbankan. Biaya itu terus membengkak, sementara beras stok CBP yang tersimpan di gudang tak bisa leluasa digunakan oleh Bulog. Beban operasional Bulog pun bertambah.
Bulog akhirnya terbebani oleh utang perbankan. Saat ini, perusahaan bahkan harus membayar bunga utang hingga Rp 282 miliar. Perusahaan harus terus berusaha untuk bisa membayar bunga ataupun mendapat keringanan dari perbankan.
Sementara, masalah yang dihadapi, pemerintah justru berencana untuk melakukan importasi beras sebanyak 1 juta ton. "Ini masalah sudah saya sampaikan pada forum rapat, tidak pernah ada keputusan. Tapi, kalau impor itu cepat sekali," kata Buwas dalam sebuah webinar, Kamis (25/3).
Menurut dia, jika dilihat dari segi kapasitas gudang, Bulog sangat mampu untuk menyerap gabah setara beras hingga 2 juta ton. Jumlah itu di atas dari batas volume stok yang ditugaskan pemerintah sebanyak 1 juta-1,5 juta ton.
Namun, yang menjadi persoalan adalah ruang penyaluran atau penjualan beras tersebut. Ia mengatakan, kurun waktu Januari-Maret 2021, Bulog menyalurkan beras dalam program operasi pasar sebanyak 123 ribu ton. Selain itu, ada pula tanggap darurat bencana sebanyak 1.134 ton dan golongan anggaran 15 ribu ton beras.
Jika ditotal, jumlah beras yang dikeluarkan hanya sekira 140 ribu ton atau 50 ribu ton per bulan. "Kalau riil sebesar itu, berarti selama 12 bulan hanya 600 ribu ton. Kita bisa siapkan paling banyak 800 ribu ton," ujar Buwas.
Buwas menyampaikan, dari total stok beras yang disimpan Bulog saat ini, sebanyak 275 ribu ton merupakan beras sisa impor tahun 2018. Dari jumlah itu, terdapat 106 ribu ton beras yang mengalami turun mutu. Beras tersebut terancam rusak karena tak terpakai dan terus menumpuk di gudang.
Sementara itu, jumlah stok yang ditugaskan pemerintah jauh di atas kebutuhan riil tersebut. Ia melanjutkan, penugasan pemerintah kepada Bulog untuk menyimpan beras sebanyak 1 juta-1,5 juta ton merupakan keputusan dari Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) level Kementerian Koordinator Perekonomian tahun 2018.
Menurut Buwas, itu hanya keputusan sementara sehingga seharusnya tidak tetap. "Sekarang, hilir (ruang penyaluran beras) kita tidak ada. Lalu, dengan uang pinjaman ke perbankan untuk stok beras ini, siapa yang tanggung jawab? Tidak ada kepastian penggunaan beras ini," ujarnya.
Oleh sebab itu, melihat kondisi tersebut ditambah potensi produksi beras dalam negeri, Buwas mengatakan produksi dalam negeri diyakini masih mencukupi kebutuhan nasional. Bulog, kata dia, akan terus mengoptimalisasi penyerapan gabah petani dan meningkatkan stok beras hingga 1 juta ton.
Saat ini, Bulog telah melakukan penyerapan gabah setara beras hingga sebanyak 902 ribu ton untuk cadangan beras pemerintah. Menurutnya, jumlah itu sudah meningkat dari volume sebelumnya sebanyak 800 ribu ton. Adapun total stok beras Bulog dari CBP dan beras komersial sebanyak 923 ribu ton.
Ia menegaskan, Bulog percaya pada data-data terakhir yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian (Kementan) di mana produksi tahun ini akan mengalami kenaikan dari tahun lalu. "Kita harus percaya itu, kalau tidak percaya, harus percaya sama siapa karena itu negara. Dan, sampai sekarang kita buktikan beras stabil," katanya.
Ia pun menyinggung kembali pernyataan Presiden Joko Widodo terkait ajakan untuk membenci produk asing dan mencintai produk dalam negeri. "Jangan seolah-olah beras kurang, kita takut. Pernyataan Presiden saya pegang benci produk asing, utamakan produksi dalam negeri. Ini belum apa-apa kok sudah menyatakan impor, apalagi beras yang mendasar," ujar Buwas.
Menurut Budi, seharusnya pemerintah tidak terburu-buru dalam menyatakan keinginan untuk impor beras. Ia memahami petani yang menjadi pelaku utama dalam kegiatan produksi beras akan menjadi resah karena harga jual petani menjadi jatuh.
"Selama kita produksi, sebagai negara agragris (sebaiknya) jangan impor. Ini soal harga diri," katanya.
Ia tak menampik soal potensi krisis pangan dunia yang dipicu oleh pandemi Covid-19 di seluruh dunia. Namun, pihaknya optimistis kemampuan produksi beras dalam negeri cukup kuat karena petani terus melakukan produksi tanpa henti.
"Kita harus menciptakan swasembada pangan dan memiliki ketahanan pangan. Ini pasti bisa terwujud dan harus ada kesatuan pendapat dan pemikiran dalam masalah pangan ini," ujarnya.