Kamis 25 Mar 2021 04:00 WIB

PAN: Para Elite Harus Minta Maaf ke Masyarakat

Zulkifli mendorong rekonsiliasi nasional untuk mengembalikan keutuhan berbangsa.

Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan
Foto: Republika/nawir arsyad akbar
Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum DPP PAN Zulkifli Hasan mengatakan perlu rekonsiliasi nasional untuk mengembalikan keutuhan berbangsa dan bernegara. Para elite harus meminta maaf kepada masyarakat serta berjanji tidak menggunakan politik identitas dalam suksesi kekuasaan.

"Para elite harus meminta maaf kepada masyarakat dan berjanji tidak lagi menggunakan politik identitas, politik agama, politik SARA untuk menyelenggarakan suksesi kekuasaan. Ongkos sosialnya besar sekali yang harus kita tanggung," kata Zulkifli saat memberikan pidato kebangsaannya bertajuk "Membumikan Pancasila, Mengokohkan NKRI" yang disiarkan melalui channel YouTube, Rabu (24/3).

Baca Juga

Menurut dia, masyarakat harus diajak bersatu kembali menguatkan lagi semangat Sila Ketiga Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia. Zulkifli menilai pilkada pada tahun 2017, 2018, pileg dan Pilpres 2019, serta Pilkada 2020 telah menunjukkan karakter demokrasi yang culas dan berpikir menang-menangan. Ia berpendapat bahwa politik elektoral berubah menjadi ajang untuk memperebutkan kekuasaan dan pengaruh dengan agenda yang berbeda-beda, tidak peduli masyarakat terpolarisasi secara hebat.

"Bahkan, muncul benih-benih permusuhan dan kebencian yang ongkos sosial budayanya sangat tinggi. Muncul karakter dukungan politik yang kuat dibarengi dengan perbedaan ideologi adalah konsekuensi dari daya tarik akibat polarisasi ini," ujarnya.

Wakil Ketua MPR RI itu menilai politisasi agama secara brutal sehingga menghasilkan islamisme yang sempit dan simbolik belaka, memungkinkan masuknya paham ekstrem dan radikal bahkan yang mengandalkan format negara agama dengan menerapkan syariat Islam sebagai hukum formal. Menurut dia, polarisasi politik juga menimbulkan permusuhan, bahkan kebencian seperti munculnya istilah "cebong vs kampret", "buzzer vs kadrun", dan kalau dibiarkan bisa tereskalasi menjadi pikiran "kami melawan mereka" (us vs them) yang bisa membahayakan keutuhan berbangsa dan bernegara.

"Pesta demokrasi yang mahal sekali ongkosnya bagi parpol maupun peserta pemilu menghasilkan pola-pola yang sifatnya transaksional, merugikan, dan membodohkan masyarakat," katanya.

Ia menilai polarisasi yang telanjur terjadi menyebabkan kebingungan di tengah masyarakat untuk berpegang pada ideologi mana yang harus diacu dalam berbangsa dan bernegara. Zulkifli menegaskan bahwa semangat Bhinneka Tunggal Ika dan nasionalisme yang berketuhanan adalah landasan ideologi yang final bagi bangsa Indonesia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement