REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rossi Handayani, Ali Yusuf, Fauziah Mursid
Tidak sampai sebulan lamanya Ramadhan akan segera tiba. Meski kasus Covid-19 sudah mulai menurun, pandemi belum sepenuhnya pergi dari Tanah Air. Masyarakat masih diminta untuk tetap waspada dan menjaga protokol kesehatan ketika beribadah di luar rumah selama Ramadhan.
Sholat tarawih di masjid menjadi salah satu aspek Ramadhan yang berpotensi menjadi sarana penularan Covid-19 jika tidak diatur secara benar. Ketua Dewan Masjid Indonesia, Jusuf Kalla, pun mengusulkan sholat tarawih dilakukan secara bergelombang agar protokol kesehatan tetap bisa dijaga.
Kalla mengusulkan sholat tarawih dilakukan sebanyak dua shift atau dua gelombang. Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Muhammad Cholil Nafis, mengatakan, sholat tarawih bergelombang bisa dilakukan di masjid selama bulan suci tersebut.
"Ya bagus, tiga shift juga boleh, intinya adalah selama kita mulai dari waktu Isya sampai subuh kan bisa tarawih, bagi yang memahami bahwa sholat tarawih sama dengan sholat malam," kata Cholil, Rabu (24/3).
Sholat tarawih tiga shit disebutnya bisa dilakukan di kawasan padat penduduk. "Ini bisa direalisasikan di tempat yang padat, masjid terbatas, dan memang sekarang kapasitas terbatas bisa jadi dua atau tiga shift yang penting mereka bisa jaga protokol kesehatan," ucap Cholil.
Cholil mengatakan, dengan adanya shift dalam sholat tarawih ini akan meramaikan masjid di bulan ramadhan. Kemudian juga akan lebih memperbanyak ibadah di bulan suci.
Sementara itu, untuk shaf sholat disesuaikan dengan kondisi yang ada. Apabila keadaan sudah aman dari virus, maka shaf yang rapat diperbolehkan.
"Kalau kita sudah aman, harapannya rapat, tapi kalau belum aman disesuaikan. Ikuti protokol kesehatan," kata dia.
Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (IKADI), Prof KH Ahmad Satori Ismail, namun berpendapat sholat tarawih tidak perlu dilakukan dua shift. "Kalau seandainya corona ini belum terselesaikan permasalahannya, maka kalau dianggap menurut dokter Islam, kesepakatan dokter Islam bahwa masih bahaya ya, maka bisa saja seperti itu," kata KH Ahmad saat dihubungi Republika, Rabu (24/3).
Akan tetapi kata dia, pembatas masjid itu juga harus diberlakukan juga di tempat-tempat lain seperti pasar, mal, dan tempat yang mengundang banyak orang-orang berkerumun harus dilarang. Untuk itu pemerintah jangan terlalu mempermasalahkan masjid dianggap sebagai tempat penyebaran Covid-19. "Jadi jangan di masjid saja yang di permasalahkan ya," katanya.
Menurutnya, di dalam masjid orang menghadap kiblat dan tidak banyak bicara seperti halnya di tempat-tempat lain orang behadap-hadapan dalam pembicaraan. Sehingga banyaknya orang di dalamnya tidak perlu dipermasalahkan lagi menjadikan tarawih dibuat dua shift.
"Kalau menurut saya Wallahualam ini. Karena ketika sholat itu jamaahnya menghadap satu arah kiblat, kemudian mereka juga di situ hanya zikir bukan ngobrol. Asal physical distancing satu meter itu terlaksana dengan baik tidak usah dijadikan dua shift," katanya.
KH Ahmad Satori Ismail menuturkan, jika bulan April sudah tidak musim hujan, maka mushola, masjid yang memiliki halaman luas bisa dijadikan tempat sholat. Sehingga protokol kesehatan dijalankan, syiar Islam melalui ibadah sholat tarawih pun tetap dilaksanakan.
"Masjid dan mushola bisa diperluas dengan membuka tikar di luar sehingga tetap berjalan secara hikmah tapi juga ramai. Insya Allah tidak harus dijadikan dua shift," katanya
KH Ahmad khawatir jika sholat tarawih digelar dua shift mengikuti saran DMI, banyak jamaah yang tidak hadir sholat. Mengingat setelah jeda buka puasa yang terlalu lama memebuat jamaah malas bergerak.
"Manusia ini godaannya untuk itu berat. Ini memang masalah sunnah tapi kita kan perlu syiar juga," katanya.