Selasa 23 Mar 2021 14:17 WIB

Poin-Poin Penting Eksepsi Atas Dakwaan HRS

Judul eksepsi HRS,

Suasana saling dorong antara polwan dan pendukung HRS terjadi di depan gerbang PN Jaktim, Selasa (23/3).
Foto: Zainur Mahsir Ramadhan/Republika
Suasana saling dorong antara polwan dan pendukung HRS terjadi di depan gerbang PN Jaktim, Selasa (23/3).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Zainur Mashir Ramadhan, Rizky Suryarandika, Antara

Baca Juga

Mantan Sekretaris Umum FPI yang juga kuasa hukum Habib Rizieq Shihab (HRS), Munarman, mengatakan, ada beberapa poin penting dalam eksepsi dakwaan HRS yang kini dibacakan di PN Jakarta Timur. Menurutnya, dalam eksepsi itu, ada pesan agar kekuasaan yang zalim tidak diagung-agungkan.

"Kedua, pada akhir zaman ini Rasulullah SAW sudah memberi kabar bahwa akan ada penguasa-penguasa zalim atau disebut Ruwaibidoh. Itu adalah orang-orang bodoh, tapi mengurus urusan umum," kata dia ketika ditemui Republika.co.id di PN Jakarta Timur, Selasa (23/3).

Tak sampai di sana, menurut Munarman, pihaknya dalam eksepsi itu juga menganggap PN Jakarta Timur tidak berwenang dalam kasus di Megamendung. Karena itu, tidak terjadi di sekitar Jakarta Timur.

Keberatan lain yang disampaikannya adalah menyoal Pasal 160 KUHP. Pasal itu, kata Munarman, tidak bisa diterapkan pada pelanggaran protokol kesehatan. Terlebih, ketika perkara protokol kesehatan yang melibatkan HRS disebutnya juga telah membayar denda.

"Tidak pernah ada orang di Indonesia yang melanggar prokes lalu membayar denda sebesar Rp 50 juta. Jadi, kalau ini tetap diproses, ini nebis in idem (hukuman ganda) namanya," kata Munarman menjelaskan.

Lebih jauh Munarman menyebut, Pasal 160 KUHP adalah pasal yang seharusnya diterapkan pada peristiwa kejahatan. Hal itu berbeda dengan pelanggar protokol kesehatan yang bernada pelanggaran.

Baca juga : Pakar: Persidangan HRS Diskriminatif

"Pelanggaran bukan kejahatan. Jadi, kita tolak," ujarnya.

Munarman menegaskan, ada banyak tambahan pasal yang diselundupkan pada saat membuat surat dakwaan terhadap HRS. Contohnya, kata dia, pasal UU Ormas dan ancaman hukuman-hukuman untuk menghapus hak politik HRS.

"Maka, kita pastikan perkara ini adalah perkara politik sesungguhnya," ungkap dia.

Di balik tambahan kasus itu, dia juga menduga ada motif tertentu untuk membungkam HRS. "Itu poin-poinnya. Dan sebetulnya, eksepsi sudah kita sebar sejak kemarin," ujarnya.

"Mengetuk Pintu Langit, Menolak Kezaliman, Menegakkan Keadilan" menjadi judul eksepsi HRS. Eksepsi setebal 66 halaman itu banyak mengutip ayat Alquran dan hadis.

 

 

Senada dengan Munarman, kuasa hukum HRS, Alamsyah Hanafiah, mengatakan, tidak ada hubungan hukum dalam dakwaan terhadap HRS. Khususnya, ketika menyangkut SKB 6 Menteri soal larangan FPI, Pasal 160 KUHP mengenai penghasutan dan UU Kekarantinaan.

"Tidak ada hubungan hukumnya," ujar dia di depan gerbang PN Jaktim, Selasa (23/3).

Menurutnya, SKB enam menteri tidak bisa disatukan dengan pasal 160 dan UU Kekarantinaan. Hal itu mengingat HRS yang sudah menjadi terdakwa sebelum adanya aturan tersebut.

Baca juga : HRS Tetap tak Mau Hadiri Sidang Online

"Itu yang pertama. Maka, dengan itu batal," kata Alamsyah menambahkan.

Tak sampai di sana, Pasal 160 KUHP delik pidana umum, kata Alamsyah, juga tidak bisa disatukan dengan delik pidana khusus.

"Unsur yang ada berbeda, ancaman hukuman berbeda. Jadi, tidak mungkin ditambahkan," katanya menjelaskan.

Jika penggabungan dakwaan tersebut tetap dilakukan,  menurutnya hanya delik pidana khusus yang bisa digunakan.

"Jadi, tidak boleh digabung kalau beda," ungkap dia.

Alamsyah menegaskan, pihaknya kali ini tetap tak menghadiri sidang. Mereka hanya menyerahkan pembacaan eksepsi kepada hakim.

"Karena sidang kan online. Kita cuma monitor apa hari ini (eksepsi) dibacakan oleh hakim atau tidak, gitu," ujarnya di depan gerbang PN Jaktim, Selasa (23/3).

Dia menegaskan, hingga kapan pun prinsip pihaknya tetap menginginkan sidang secara langsung. Hal itu mengingat risiko gangguan dan penjelasan yang tak sampai.

Menurutnya, apa yang digelar di Mabes Polri bukanlah pengadilan. "Kalaupun mau sidang dari jauh, HRS bisa sidang di PN Jaksel dan kita tetap di sini (PN Jaktim)," ujarnya menambahkan.

Diketahui, HRS terjerat tiga kasus sekaligus. Dalam kasus kerumunan massa di Petamburan, Jakarta Pusat, HRS ditetapkan sebagai tersangka pada 14 November 2020 lalu. HRS diduga melanggar Pasal 160 KUHP. Kemudian, pada Desember 2020, HRS juga ditetap sebagai tersangka kerumunan massa di Megamendung, Kabupaten Bogor.

Baca juga : Polwan dan Simpatisan HRS Saling Dorong di PN Jaktim

Dari kedua kasus tersebut, HRS dijerat dengan Pasal 14 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Pasal 216 KUHP.

Selanjutnya kasus terakhir, kasus di RS Ummi Bogor berawal saat HRS dirawat di RS Ummi dan melakukan tes usap pada 27 November 2020. Namun, HRS melakukan tes usap bukan dengan pihak rumah sakit, melainkan lembaga Mer-C.

 

photo
Pasal yang Menjerat Habib Rizieq - (republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement