REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tengah melakukan kajian terkait bisa tidaknya Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua dikategorikan sebagai organisasi terorisme. Selama ini kelompok tersebut kerap disebut TPN-OPM (Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka).
"Hari ini kami sedang terus menggagas diskusi-diskusi dengan beberapa kementerian lembaga berkaitan dengan masalah nomenklatur KKB untuk kemungkinannya apakah ini bisa dikategorikan sebagai organisasi terorisme," kata Kepala BNPT, Komjen Pol Boy Rafly Amar, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Senin (22/3).
Boy melihat tindakan yang dilakukan KKB Papua layak dikategorisasikan sebagai organisasi terorisme. Hal tersebut lantaran dalam aksinya KKB kerap melakukan kekerasan menggunakan senjata api hingga merenggut nyawa sipil dan aparat.
"Kondisi-kondisi real di lapangan sebenarnya dapat dikatakan telah melakukan aksi-aksi teror," tegas Boy.
Terkait itu, Boy mengatakan BNPT tidak bisa memutuskan itu sendiri. BNPT akan membuka ruang diskusi dengan sejumlah kementerian/lembaga lain, termasuk juga Komnas HAM dan DPR. BNPT berharap hasil diskusi tersebut nantinya juga bisa menjadi saran kepada Presiden terkait kemungkinan TPN-OPM dimasukan dalam kategori organisasi terorisme.
"Ini juga tentu perlu pembahasan-pembahasan, kami sedang mempromosikan diskusi-diskusi itu agar lebih masyarakat kita secara terbuka, secara obyektif untuk melihat, sehingga dalam persangkaan kepada pelaku-pelaku kelompok ini bisa menggunakan pasal-pasal tindak pidana terorisme," ujarnya.
Sebelumnya Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin menilai pemerintah perlu mendefinisikan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB), Organisasi Papua Merdeka (OPM), Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TNPPB) sebagai Organisasi Teroris. Hal tersebut sesuai dengan UU Nomor 5/2018 dan UU Nomor 15/2003 tentang Terorisme.
"Kelompok bersenjata di Papua sejatinya para pelaku atau terduga terorisme, Mereka melakukan teror, ancaman, menyandera, membunuh, menyiksa dan menculik warga sipil, seringkali dengan motif politik, Maka mereka adalah Teroris. Sama halnya dengan kelompok di Poso, di Bima, di Jawa Barat, Jawa Tengah ataupun Jawa Timur. Keengganan pemerintah untuk melakukan pelabelan sebagai Terorisme terhadap KKB sejenis Kelompok Egianus Kogoya bisa jadi adalah suatu pendekatan politik yang diambil untuk meredakan ketegangan akibat separatisme di Papua" Kata Azis Syamsuddin dala keterangan tertulisnya (21/3).
Menurutnya terorisme yang terjadi di Papua berakar dari separatisme, sebagaimana yang terjadi di Thailand Selatan. Oleh karena itu secara penegakan hukum, Azis melihat UU Pemberantasan Terorisme dapat digunakan.
Namun demikian, walaupun pendekatan pemberantasan terorisme dapat digunakan di Papua, menurutnya pendekatan terbaik yang bisa dilakukan yaitu melalui pendekatan kesejahteraan, sosial, ekonomi dan budaya. seraya memberikan rekognisi dan akomodasi terhadap hak-hak masyarakat adat/lokal yang eksis di sana.
"Pendefinisian OPM sebagai KKB tidak salah sepenuhnya, tetapi istilah itu terlampau umum. Begal motor, perampok bank misalnya, juga dapat tergolong KKB sepanjang mereka berkelompok dan memakai senjata api,tajam, dalam aksinya," ujarnya
"Dilihat dari tujuannya untuk memisahkan diri dari Indonesia, separatis tergolong makar, dalam KUHP Pasal 106 terancam pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun. Mirip dengan makar, dalam KUHP Pasal 108 pelakunya terancam pidana penjara maksimal 15 atau 20 tahun. Masalahnya, yang dapat dipidanakan dengan penyebutan istilah separatis, makar, atau pemberontak ini hanya perorangan" jelasnya.