Sabtu 20 Mar 2021 22:07 WIB

Kejagung: Hoaks, Video Jaksa Disuap dalam Kasus HRS

Kabar yang menyebut jaksa disuap dalam kasus HRS ditegaskan Kejagung hoaks.

Kejagung: Hoaks, Video Jaksa Disuap dalam Kasus HRS. Foto:   Kejaksaan (ilustrasi)
Foto: [ist]
Kejagung: Hoaks, Video Jaksa Disuap dalam Kasus HRS. Foto: Kejaksaan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejagung) membantah kabar penangkapan seorang oknum Jaksa berinisal AF yang diduga menerima suap dalam kasus terdakwa Habib Rizieq Shihab (HRS). Rizieq didakwa melanggar aturan kekarantinaan kesehatan covid-19. 

Kapuspenkum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezen Simanjuntak mengatakan, video yang beredar di media sosial dengan narasi terbongkar pengakuan seorang jaksa yang mengaku menerima suap dari kasus HRS adalah salah. Apalagi dikaitkan dengan penjelasan Yulianto selaku Kepala Sub Direktorat Tindak Pidana Korupsi pada Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus kepada media pada tahun 2016.

Baca Juga

"Padahal saat ini Yulianto sudah menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (NTT)," kata Leonard melalui siaran persnya, Sabtu (20/3).

Leonard mengatakan, video penangkapan seorang oknum Jaksa berinisial AF oleh Tim Saber Pungli Kejagung adalah peristiwa pada November 2016. Penangkapan terkait pemberian suap dalam penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi Penjualan Tanah Kas Desa di Desa Kali Mok Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.

"Jadi video penangkapan oknum Jaksa AF tidak ada sama sekali kaitan dan hubungannya dengan proses sidang Rizieq Sihab di Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang saat ini sedang disidangkan," ujar Leonard.

Atas dasar itu, Leonard meminta masyarakat untuk tidak menyebarluaskan video tersebut. Serta tidak mudah percaya dan terprovokasi dengan berita bohong atau hoaks sebagaimana video yang sedang beredar saat ini.

Karena perbuatan tersebut dapat dijerat dengan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik khususnya pasal 45A ayat (1) yang berbunyi. “Setiap orang, yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan dipidana dengan pidana penjara 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).” 

"Kami juga meminta agar masyarakat tidak membuat berita atau video atau informasi yang tidak benar kebenarannya dan menyebar-luaskannya kepada masyarakat melalui jaringan media sosial yang ada," ujar Leonard.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement