Sabtu 20 Mar 2021 11:43 WIB

Beda Fatwa MUI dan NU Soal AstraZeneca

Tidak perlu membenturkan fatwa MUI dan NU soal vaksin AstraZeneca.

Seorang perawat bersiap untuk memberikan dosis vaksin AstraZeneca COVID-19 di pusat perawatan kesehatan di Seoul pada hari Jumat, 26 Februari 2021. Korea Selatan pada hari Jumat memberikan suntikan vaksin virus corona pertama yang tersedia kepada orang-orang di fasilitas perawatan jangka panjang.
Foto:

Oleh : Nashih Nashrullah*

Lantas di manakah letak perbedaan yang memengaruhi pada hasil akhir dari kajian kedua lembaga? Perbedaannya adalah pada istidlal (berargumentasi) menyikapi pemanfaatan atau intifa dengan barang najis, yang dalam hal ini adalah babi, untuk keperluan yang berdampak pada maslahat. Keperluan yang dimaksud dalam hal ini adalah tripsin babi sebagai media pembuat vaksin. Tripsin dari pankreas babi. Tripsin ini bukan bahan baku utama virus, melainkan sebuah bahan yang digunakan untuk memisahkan sel inang virus dengan micro carier virus.

Di sinilah letak krusial dari kontruksi fatwa. Dalam sejumlah fatwa MUI terkait dengan pemanfaatan unsur babi sebagai media virus ke vaksin, MUI lebih memilih pendapat yang mengatakan zat dari babi yang digunakan sebagai perantara tersebut tidak hilang status najisnya, sekalipun sudah melalui proses sterilisasi atau tathhir. Ini diperkuat pula dengan pendapat ulama dari Mazhab Syafii yang menyatakan intifa’ dengan babi dan turunannya tidak diperbolehkan. Ini sebagaimana pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Tuhfat al-Muhtaj. Pendapat sama juga disampaikan Imam An-Nawawi dalam Raudhat at-Thalibin.

Sementara itu, Bahtsul Masail PWNU Jatim menukil sejumlah pendapat ulama yang menyatakan najis dari unsur babi yang telah disucikan dan sudah berubah zatnya sama sekali dari semula, maka dia dianggap suci. Ini merupakan pendapat ulama Mazhab Hanafi dan Maliki, serta sebagian riwayat dari Imam Ahmad.

Menariknya, justru dalam rujukan dalam hasil kajian PWNU Jatim itu, yakni Al-Musu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (Ensklopedi Fikih Kuwait), ditemukan perbedaan pandapat menyikapi kesucian dzat babi yang telah melalui proses sterilisasi itu. Mazhab Hanafi dan Maliki menyatakan suci dan telah berubah dzat, tetapi mazhab yang lain yaitu Mazhab Syafii dan Hanbali, ditemukan pendapat bahwa zat dari babi itu tetap najis dan tidak berubah, dengan demikian maka bisa dipahami mengapa alasan Imam An-Nawawi dan Al-Haitami di atas melarang pemanfaatan babi dan turunannya. 

Dari sini sebenarnya....

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement