REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yakin 1,1 juta dosis vaksin Astrazeneca yang telah Indonesia dapatkan tidak akan terbuang percuma. Seluruh vaksin tersebut akan bisa digunakan meski memiliki tanggal kedaluwarsa pada akhir Mei 2021.
Sembari menunggu hasil investigasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengenai isu efek samping, pihak terkait sedang mengevaluasi kriteria penerima vaksin hingga pengecekan kualitas vialvaksin sebelum didistribusikan ke daerah-daerah.
Kemenkes pada Senin (15/3) memutuskan akan menunda pendistribusian vaksin Astrazeneca. Namun, penundaan itu bukan semata-mata karena laporan yang muncul di Eropa mengenai penggumpalan darah seusai vaksinasi. "Penundaan distribusi vaksin Astrazeneca lebih pada kehati-hatian. Kami mengikuti arahan BPOM," kata Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kemenkes Siti Nadia Tarmizi saat konferensi virtual Kemenkes, Selasa (16/3).
Nadia mengatakan, BPOM bersama Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (Itagi) dan para ahli sedang melihat kembali kriteria-kriteria penerima vaksin yang sebelumnya telah dikeluarkan, yaitu untuk vaksin Sinovac, memiliki kriteria yang sama atau tidak dengan penerima Astrazeneca. Saat ini, kata dia, Kemenkes menunggu proses tersebut dan tengah melakukan proses pengecekan secara fisik atau quality control.
Pengecekan fisik itu dilakukan untuk memeriksa kemungkinan adanya vial yang rusak atau ada kemasan yang kondisinya tidak baik. "Ini di pastikan dulu sebelum kami distribusikan ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) tempat pelaksanaan vaksinasi. Kami betul-betul menjamin dari segi mutunya," ujarnya.
Menurut dia, proses pengecekan kualitas dan lainnya bakal selesai dalam waktu dua hingga tiga pekan. Setelah itu, barulah vaksin dapat didistribusikan. Namun, pihaknya tidak menutup kemungkinan bakal ada percepatan. Sebab, persiapan pengemasan vaksin dan hal-hal teknis lainnya dilakukan secara paralel.
Nadia menambahkan, pihak-pihak terkait juga sedang melihat kembali apakah kriteria-kriteria penerima vaksin sudah sesuai, termasuk mengenai rentang waktu penyuntikan dosis kedua. Berdasarkan rekomendasi WHO, rentang waktu penyuntikan vaksin Astrazeneca yang optimal antara sembilan sampai 12 pekan. Kemenkes juga akan menentukan prioritas kelompok usia yang akan diberikan vaksin Astrazeneca jika sudah ada rekomendasi BPOM terkait peng gunaannya.
Oleh karena itu, Nadia menegaskan penundaan distribusi bukan hanya karena ada kabar terjadinya penggumpalan darah sebagai akibat dari penyuntikan vaksin Astrazeneca. Ia mengakui, ada 11 negara di Eropa yang menunda pemberian vaksinasi Astrazeneca. Namun, dia mengungkapkan, Europe Medicine Association (EMA) dan BPOM Inggris pada 11 Maret telah menyatakan tidak ada hubungan antara terjadinya penggumpalan darah dengan penyuntikan vaksin Astrazeneca.
Apalagi, dia melanjutkan, data menunjukkan bahwa dari 17 juta orang yang telah disuntik vaksin Astrazeneca, isu penggumpalan darah yang dilaporkan hanya 40 kasus. "Jadi, sebenarnya kasusnya sangat kecil dan tidak ada hubungannya dengan vaksin Astrazeneca," ujarnya.
Nadia pun memastikan vaksin Astrazeneca segera didistribusikan ke masyarakat meski sedang ada isu efek samping pembekuan darah. Mengenai pemanfaatan 1,1 juta dosis vaksin Astrazeneca, ia yakin seluruh dosis vaksin yang ada dapat dimanfaatkan meski memiliki tanggal kedaluwarsa pada Mei 2021.
Dengan estimasi pemberian dosis vaksin per hari sebanyak 250 ribu hingga 350 ribu dosis, kata Nadia, sebanyak 1,1 juta dosis vaksin bisa dihabiskan dalam waktu enam hari untuk penyuntikan dosis pertama. "Kami akan gunakan 1,1 juta dosis vaksin Astrazeneca untuk kelompok prioritas," katanya.
Kepala BPOM Penny K Lukito tak mau berkomentar banyak mengenai nasib vaksin Astrazeneca. Ia mengatakan, BPOM masih memantau investigasi yang dilakukan WHO. "Semoga di akhir pekan ini ada informasi sehingga bisa menjadi bahan BPOM bersama tim ahli memberikan rekomendasi keamanan penggunaan pada pemerintah," ujarnya saat dihubungi Republika, kemarin.
WHO mengatakan sedang meninjau laporan mengenai isu penggumpalan darah dan akan merilis hasil investigasi secepat mungkin. "Sampai hari ini tidak ada bukti bahwa insiden tersebut disebabkan oleh vaksin dan penting agar kampanye vaksinasi terus berlanjut. Dengan begitu, kita dapat menyelamatkan nyawa dan membendung penyakit parah dari virus tersebut," kata Juru Bicara WHO Christian Lindmeier.
WHO mengatakan, per 12 Maret, lebih dari 300 juta dosis vaksin Covid-19 telah diberikan di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, WHO tidak menemukan laporan kasus kematian akibat vaksin-vaksin yang sudah beredar. (rr laeny sulistyawati, dwina agustin, ed: satria kartika yudha)