REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaksanaan otonomi khusus (otsus) Papua sudah berlangsung selama 20 tahun sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Namun, pemerintah tak kunjung menyampaikan hasil evaluasi pelaksanaan otsus Papua secara komprehensif kepada publik, hingga akhirnya muncul Rancangan Undang-Undang (RUU) Otsus Papua.
"Yang diminta orang Papua itu evaluasi menyeluruh sebelum melakukan revisi mengenai apa yang sudah dicapai oleh otsus, apa yang belum dicapai oleh otsus," ujar peneliti dari Pusat Penelitian Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas saat dihubungi Republika, Jumat (12/3).
Dalam draf perubahan UU Otsus Papua usulan pemerintah, setidaknya terdapat dua ketentuan yang baru. Pemerintah mengusulkan kenaikan dana otsus Papua menjadi 2,25 persen dari sebelumnya sebesar dua persen dan pemerintah dapat melakukan pemekaran daerah di Papua.
Cahyo mempertanyakan, kajian dan evaluasi atas usulan kenaikan dana otsus Papua. Hal yang paling mendasar terkait apakah dengan dinaikkannya besaran dana otsus dapat lebih bermanfaat bagi orang asli Papua.
Kenaikan dana otsus Papua juga perlu dibarengi dengan perbaikan tata kelola, alokasi, perencanaan, pendampingan, dan pengawasan. Menurut Cahyo, perlu kewajiban yang memaksa terhadap pembagian porsi dana otsus, misalnya 30 persen untuk pendidikan dan 16 persen untuk kesehatan.