Kamis 11 Mar 2021 12:15 WIB

Asosiasi Pers Minta Pemerintah Serius Revisi UU ITE

AJI mencatat setidaknya ada 25 kasus kriminalisasi jurnalis berkaitan dengan UU ITE.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Yudha Manggala P Putra
Revisi UU ITE. Ilustrasi
Foto: Google
Revisi UU ITE. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta berkomitmen dan serius dalam merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat setidaknya ada 25 kasus kriminalisasi jurnalis yang berkaitan dengan UU ITE dalam tiga tahun terakhir.

"Kalau berkaca dari kasus-kasus yang dialami oleh teman-teman jurnalis, ini sudah sangat mengganggu kerja jurnalisme, padahal dalam melakukan kerja jurnalisme, sudah dilindungi oleh UU,” ujar perwakilan dari AJI, Sasmito Madrim, dalam diskusi bersama Tim Kajian UU ITE, berdasarkan siaran pers, Kamis (11/3).

Sementara itu, Ketua Dewan Pertimbangan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Imam Wahyudi menilai UU ITE sejalan dengan prinsip jurnalisme, yaitu untuk kemaslahatan publik. Namun dalam perjalanannya, UU ITE justru menjadi momok yang menakutkan. Karena itu, dia berharap agar UU ITE tak hanya direvisi, tetapi juga tidak lagi mengancam kebebasan pers.

“Pasal 27 UU ITE adalah monster yang kemudian selama ini bukan hanya menghantui namun seperti dementor di film Harry Potter, benar-benar menghisap bukan hanya ke penjara namun juga nyali mereka karena ada pasal 27 ayat 3 dan juga pasal 28 dan pasal 40 soal ancamannya," kata Imam.

Kemudian Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin, mengatakan, kebebasan pers menjadi amanat konstitusi. Keberadaannya diakui dan dijamin UU. Namun, pada prakteknya masih banyak ditemukan regulasi yang semangatnya bertentangan dengan UU Pers. Salah satunya adalah UU ITE. Dia menilai UU ITE sebagai salah satu penghambat kebebasan pers.

“Meskipun UU ITE diklaim tidak menyasar pers, namun nyatanya terdapat banyak kasus watawan yang dijerat dengan UU ITE bahkan hingga divonis bersalah oleh hakim," kata Ade.

Tm Kajian UU ITE juga diminta untuk tidak hanya fokus menyehatkan dunia digital. Penerapan aturan yang ketat terhadap platform digital juga perlu dilakukan. Hal itu dikatakan oleh Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut.

Wens menilai, platform digital seharusnya turut bertanggung jawab mengawasi konten bermuatan negatif. Itu karena hampir 90 persen konten media sosial distribusinya dikuasai oleh platform digital.

"Bayangkan kalau yang kita atur hanya orang yang bikin videonya tanpa mengatur platfomnya. Yang bikin video kita tangkap, platformnya tetap untung karena videonya tetap ditonton oleh ribuan orang,” ujar Wens.

Menanggapi masukan dari berbagai narasumber dari insan dan asosiasi pers itu, Ketua Tim Perumus UU ITE, Sugeng Purnomo, mengatakan, pers memiliki peran penting di era demokrasi. Untuk itu, masukan dan pemikiran insan dan asosiasi pers sangat diperlukan tim kajian untuk memperkaya informasi dan pandangan.

“Hal yang sangat menarik adalah, tidak bisa dipungkiri di alam demokrasi peran dari teman-teman media sangat berguna dalam memberikan informasi. Kita menghadirkan para narasumber untuk kita dengar, apa yang menjadi pemikiran para narasumber untuk kita catat dan nanti kita diskusikan," kata Sugeng.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement