REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Rizky Suryarandika
Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Sibolangit, Deli Serdang, Sumatra Utara, pada akhir pekan lalu, menyisakan cerita uang sangu para peserta KLB yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Salah satu peserta KLB Deli Serdang, Gerald Piter Runtuthomas, yang sebelumnya merupakan wakil ketua DPC Partai Demokrat Kota Kotamobagu mengungkap bahwa ia diimingi uang sebesar Rp 100 juta, tetapi pada akhirnya mereka hanya menerima Rp 5 juta setelah acara tersebut.
"Saya mohon maaf dengan keterlibatan saya dengan iming-imingi uang dan saya ikut. Saya hanya dapat uang lima juta dari KLB," ujar Gerald dalam video testimoninya dan dihadirkan langsung di Kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, Senin (8/3).
Menurut Gerald, hal itu membuat sejumlah peserta tak terima ketika mereka hanya menerima uang Rp 5 juta. Saat sejumlah peserta menyampaikan protesnya, mereka kemudian dipanggil dan bertemu dengan mantan bendahara umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin.
"Kami memberontak karena tidak sesuai dan dipanggil, lalu ditambahi lima juta oleh Bapak M Nazaruddin. Jadi saya dapat total Rp 10 juta," ujar Gerald.
Gerald mengungkapkan, ia awalnya mengaku tak ingin mengikuti KLB tersebut, karena sudah diingatkan oleh Ketua DPD di wilayahnya. Namun pihak yang mengajaknya mengatakan, dirinya merupakan pemilik suara sah, ditambah dengan janji uang Rp 100 juta yang akhirnya membuatnya setuju hadir.
"Ya tidak apa-apa yang penting ikut saja ke lokasi KLB, kita memilih ketum Pak Moeldoko dan dapat 100 juta. Kalau saya tidak di lokasi saya mendapatkan 25 persen, selesai KLB baru mendapatkan sisanya," ujar Gerald.
Menurut Gerald, pemilihan Moeldoko dipastikannya melanggar AD/ART Partai Demokrat yang telah disahkan pada 2020. Dalam KLB tersebut, Jhoni Allen justru menunjukkan AD/ART baru yang membuat penunjukan Moeldoko sah.
"Saya menyatakan di sini sebagai pelaku dalam kongres tersebut, saya menolak hasil kongres itu. Karena banyak yang tidak sesuai aturan partai, tidak sesuai aturan yang berlaku, tidak sesuai AD/ART yang berlaku," ujar Gerald.
Salah seorang yang mendukung digelarnya KLB Partai Demokrat, Hencky Luntungan membantah adanya janji pemberian uang sebanyak Rp 100 juta. Adapun, pemberian uang sebanyak Rp 5 juta kepada peserta KLB adalah untuk mengganti biaya transportasi.
"Tidak usahlah diputar-putar jadi Rp 100 juta, tidak ada Rp 100 juta. Dari mana, duitnya dari mana," ujar Hencky saat dihubungi, Selasa (9/3).
In Picture: Sikapi KLB, AHY Gelar Rapim Secara Daring
Adapun pemberian uang sebesar Rp 5 juta kepada peserta KLB oleh mantan bendahara umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin seharusnya tak perlu dipermasalahkan. Pasalnya, hal itu adalah niat baik untuk membantu peserta KLB.
"Dia memberikan dengan ketulusan supaya tidak terjadi ribut-ribut, salahkah itu. Dosakah itu?" ujar Hencky.
Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat versi KLB Deli Serdang, Marzuki Alie, ikut menanggapi kabar yang menyebutkan para peserta KLB diimingi uang agar bersedia hadir. Marzuki membantah desas-desus yang menyebutkan para peserta KLB dijanjikan uang hingga Rp 100 juta jika hadir sekaligus mendukung Moeldoko.
"Artinya, isu suap itu hanya karangan," kata Marzuki kepada Republika, Selasa (9/3).
Walau demikian, mantan ketua DPR itu meminta para peserta KLB bersyukur jika kehadiran mereka diganjar dengan uang. Menurutnya, nominal uang sebesar Rp 5 juta wajar saja diberikan pada mereka yang hadir dalam KLB.
"Mereka datang enggak jelas berharap Rp 100 juta. Masih mending dikasih Rp 5 juta," ujar Marzuki.
Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra menilai, tindakan para inisiator KLB tak bermoral. Herzaky menyampaikan para pelaku kudeta partai Demokrat menjanjikan uang suap Rp 100 juta berdasarkan pengakuan para kader.
"Jadi, salah kalau dibilang ini sebagai pengganti transportasi. Sistem pembayarannya dengan uang muka Rp 25juta, dan dibayarkan sisanya setelah Kongres selesai," kata Herzaky pada Republika, Selasa (9/3).
Herzaky merasa prihatin atas tindakan para penggagas KLB Sumut. Menurutnya, upaya suap justru merendahkan marwah partai. Ia khawatir nama besar Demokrat akan luntur dengan mental suap menyuap.
"Kami sangat menyayangkan perilaku tidak terpuji dan di luar batas-batas kepatutan seperti ini. Kehormatan dan kedaulatan serta kebesaran partai tidak bisa dibangun dengan cara-cara imoral seperti ini," ujar Herzaky.
Herzaky menilai gaya politik serampangan dengan suap terjadi sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Tindakan Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko dianggapnya mencoreng nilai demokrasi di Tanah Air.
"Beginilah kalau oknum kekuasaan mempertontonkan kuasanya di muka publik. Perilaku abuse of power yang menggerogoti sendi-sendi demokrasi," sindir Herzaky.