REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut tuntas kasus skandal perpajakan. Permintaan ini, lantaran lembaga antirasuah sedang menyidik dugaan suap bernilai puluhan miliar rupiah terkait penurunan nilai pajak di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
"Penetapan tersangka sepatutnya menjadi momentum untuk menuntaskan skandal-skandal perpajakan," kata Peneliti ICW, Egi Primayogha dalam keterangan tertulisnya, Senin (8/3).
Pada Kamis (4/3), pekan lalu, Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata menyebut, terungkapnya kasus dugaan suap pengurusan pajak di Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu berawal dari laporan masyarakat. Berdasarkan laporan tersebut, KPK kemudian melakukan penyelidikan lebih lanjut.
"Ada laporan masyarakat dan dicek, didalami, dan ternyata ada tindak pidana suap dan itu yang disampaikan ke KPK. Biasanya perkara suap adalah OTT (operasi tangkap tangan), ini tidak. Penyelidikan terbuka dan kami putuskan kami naikkan ke penyidikan," kata Alex.
Namun, Alex belum bisa menjelaskan lebih lanjut siapa saja pihak-pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Hal tersebut agar tim penyidik KPK tidak terganggu dalam proses pemeriksaan dan pencarian barang bukti terkait kasus tersebut.
Sementara, ICW menyebut pihak yang diduga telah dijerat KPK adalah Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Angin Prayitno Aji dan Kepala Subdirektorat 1 Kerja Sama Dukungan Pemeriksaan, Dadan Ramdani. Angin diduga menerima suap agar dapat merekayasa surat ketetapan pajak (SKP) dari tiga perusahaan besar, yaitu PT Jhonlin Baratama, PT Bank Pan Indonesia Tbk atau Panin Bank, dan PT Gunung Madu Plantations.
Angin dan Dadan diduga ditetapkan sebagai tersangka bersama empat konsultan pajak selaku pemberi suap. Nilai suapnya disebut mencapai Rp 50 miliar.
Egi menyatakan, skandal perpajakan termasuk yang menjerat Angin dan Dadan semakin menguatkan adanya kongkalikong antara aparat perpajakan dan wajib pajak. Praktik tercela itu bahkan telah menjadi rahasia umum, namun proses hukum kerap tak serius untuk menuntaskan hingga ke aktor utamanya.
Dalam catatan ICW sepanjang 2005 - 2019, terdapat 13 kasus korupsi perpajakan yang menunjukan kongkalikong antara pihak pemerintah dan swasta. Beberapa di antaranya, kasus yang menjerat Gayus Tambunan, pegawai negeri sipil di DJP yang diketahui menerima suap dan gratifikasi hingga Rp 925 juta, 659.800 dolar AS, dan 9,6 juta dolar Singapura, serta melakukan pencucian uang.
Kasus lainnya, yakni kasus yang menjerat mantan Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII Ditjen Pajak Kemenkeu, Bahasyim Assifie yang terbukti menerima suap senilai Rp 1 miliar dan terbukti melakukan pencucian uang. Ketiga, kasus yang menjerat Dhana Widyatmika, pegawai di Ditjen Pajak yang terbukti menerima gratifikasi dengan total nilai Rp2,5 miliar, melakukan pemerasan, dan melakukan pencucian uang.
"Dari seluruh kasus tersebut, terdapat 24 orang pegawai pajak yang terlibat. Modus umum dalam praktik korupsi pajak adalah suap menyuap. Total nilai suap dari keseluruhan kasus tersebut mencapai Rp 160 miliar. Ini tentu belum dihitung nilai kerugian negara akibat berkurangnya pembayaran pajak oleh wajib pajak korporasi," ungkap Egi.
ICW pun meminta KPK melakukan sejumlah langkah untuk segera mengusut aktor-aktor lain dalam perusahaan penyuap para tersangka dan mengejar para pegawai pajak lain yang mungkin terlibat. "Mengingat Angin merupakan pejabat tinggi di Dirjen Pajak sehingga pihak yang ditengarai terlibat berpotensi lebih luas," katanya.
Selain itu, ICW juga meminta KPK terus memeriksa perusahaan-perusahaan lain yang diduga memberi suap. Menurut ICW, terdapat 165 perusahaan yang teridentifikasi sebagai pungutan pajak berpotensi tinggi, namun baru tiga yang diusut, yaitu PT Jhonlin Baratama, Panin Bank, dan PT Gunung Madu Plantations.
PT Jhonlin Baratama diketahui dimiliki oleh salah seorang pengusaha besar pertambangan, yaitu Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam. ICW juga meminta KPK menelusuri dugaan pencucian uang dan memeriksa pihak-pihak yang namanya tercatat dalam transaksi mencurigakan pada rekening Angin.
"Kasus-kasus korupsi yang menjerat Gayus, Bahasyim Assifie, maupun Dhana Widyatmika adalah puncak dari gunung es permasalahan korupsi pajak di Indonesia. Kini, Angin Prayitno Aji juga sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan suap untuk merekayasa SKP. Belajar dari ketiga kasus tersebut, sudah sepantasnya penyidik segera menelusuri juga dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh Angin Prayitno Aji," ungkap Egi.
Skandal perpajakan, kata Egi, perlu menjadi perhatian serius seluruh pihak mengingat skandal pajak telah berulang kali terjadi dan melibatkan pejabat pajak. Karena, dengan berulangnya kasus serupa, sistem pengawasan internal yang berjalan saat ini gagal mencegah penyelewengan.
"Maka pada tataran tata kelola di Kementerian Keuangan, Menteri Keuangan Sri Mulyani perlu me-review kembali dan membenahi sistem pengawasan internal di DJP Kementerian Keuangan agar wilayah rawan suap di lingkungan DJP dapat dipetakan dan dibenahi," kata dia.
ICW menilai sektor pajak telah menjadi “mainan” banyak pihak. Bahkan terdapat pihak yang diduga membajak kebijakan guna mencari keuntungan.
Kuat dugaan, penurunan tarif pajak penghasilan bagi Wajib Pajak Badan (PPh Badan) yang tercantum dalam UU Nomor 2 tahun 2020 tentang Penanganan Covid sebagai upaya pihak-pihak tertentu untuk mendapat keuntungan. Pengaturan tersebut bahkan telah diusulkan dalam Omnibus Law cluster Perpajakan.
"Namun kemudian ketentuan itu “disisipkan” dalam UU no 2/2020 ketika pandemi muncul. Omnibus Law cluster Perpajakan sendiri urung disahkan tanpa alasan yang jelas. Ini memunculkan dugaan kuat adanya upaya sistematis dari sejumlah pihak, dan semakin kuatnya pengaruh mereka dalam pengambilan kebijakan. Jika praktik ini dapat disebut bagian dari upaya mafia perpajakan, maka skandal perpajakan dan praktik mafia perpajakan mesti dibongkar seluruhnya," ujar Egi.