REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lili Romli mengatakan, bahwa Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko telah mempertontonkan cara vulgar dan tak etis dalam mengambil alih Partai Demokrat. Terlibatnya sosok yang berada di lingkar Istana dinilainya dapat mengancam demokrasi Indonesia.
"Ini yang saya bilang itu, tidak etis, vulgar, dan betul-betul demokrasi terancam. Kedaulatan partai terancam, jadi mestinya kejadian ini ya tidak boleh terulang lagi," ujar Romli saat dihubungi, Ahad (7/3).
Hal yang terjadi kepada Partai Demokrat, dinilainya berbeda dengan dualisme yang sebelumnya terjadi pada Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dulu. Pasalnya, keterlibatan pihak eksternal dalam permasalahan PDI dan PKB dulu tak terlalu nyata terlihat.
Sedangkan di Partai Demokrat, Moeldoko yang merupakan sosok yang berada di samping Presiden Joko Widodo, telah secara gamblang menerima penunjukan nya sebagai ketua umum lewat kongres luar biasa (KLB) yang disebut ilegal. Padahal sebelumnya, mantan panglima TNI itu menampik bahwa dirinya terlibat dalam gerakan pengambilalihan tersebut.
"Dulu kuta hanya bisa menduga bahwa kasus-kasus yang sebelumnya pun kekuatan eksternal itu ada, tapi kita tidak bisa melihatnya kan bahwa kelompok ini yang menang mendapatkan dukungan dari rezim. Tapi kalau yang sekarang terang-benderang, ittu aja yang membedakan keterlibatan pihak eksternal," ujar Romli.
Menurutnya, Presiden Joko Widodo perlu segera menegur bahkan memberi sanksi kepadanya, agar tak ada anggapan dari publik bahwa pihak Istana terlibat di dalamnya. Pihak Istana juga diimbaunya perlu segera bicara bahwa mereka tak terlibat dalam gerakan yang dilakukan oleh Moeldoko.
Pasalnya jika pihak Istana tak kunjung bicara, publik akan menilai bahwa ada keterlibatan pemerintah dalam gerakan pengambilalihan Partai Demokrat. Bahkan isu akan semakin liar di publik, yang membuat pemerintah dapat kehilangan kepercayaan masyarakat.
"Mestinya begitu memang, harus menegur memberi sanksi. Artinya sanksinya dia harus dinonaktifkan atau dia melepaskan jabatannya sebagai KSP," ujar Romli.
Namun di samping itu, ia menjelaskan bahwa Partai Demokrat sedari awal memang memiliki masalah internal di dalamnya. Hal inilah yang membuat hadirnya faksi-faksi yang tak mendukung penuh kepengurusan yang sah.
Salah satu penyebabnya terkait posisi kepengurusan strategis yang dikuasai oleh keluarga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Terbukti ketika Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang terpilih sebagai ketua umum secara aklamasi dan Edhie Baskoro Yudhoyono yang ditunjuk sebagai wakil ketua umum.
SBY juga ditunjuk sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat dan AHY menjabat sebagai wakilnya. Berdasarkan AD/ART Partai Demokrat, Majelis Tinggi Partai sendiri merupakan salah satu posisi yang memegang pengaruh dalam setiap kebijakan Partai Demokrat.
"Persoalan demokrasi internal atau ada pihak tidak demokratis dan kasus di Partai Demokrat kan kekuasaan ada di Majelis Tinggi, terus kemudian turun ke anaknya. Sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan kekecewaan pihak itu, kepengurusan kadernya. Itukan yang menyebabkan fiksi dan faksionalisme," ujar Romli.