Jumat 05 Mar 2021 08:14 WIB

Destinasi Super Prioritas, Masih Perlukah?

Di era pandemi, tempat wisata mengalami penurunan pengunjung.

Petugas Balai Konservasi Borobudur (BKB) menutup stupa dengan menggunakan terpal di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Kamis (12/11). Penutupan stupa dan lantai Candi Borobudur untuk mengantisipasi abu vulkanis jika terjadi erupsi Gunung Merapi. Langkah ini diambil menyusul peningkatan status Siaga dan aktivitas vulkanik Merapi. Penutupan ini dilakukan secara bertahap, saat ini sudah ada 32 stupa di lantai 8 yang sudah ditutup terpal. Dan yang lain mengikuti perkembangan aktivitas Gunung Merapi.
Foto:

Redefinisi Target dan Pendekatan

Jika kesadaran bersama semakin tumbuh maka di saat yang sama juga perlu adanya keberanian untuk meredefinisi target-target dari program Destinasi Super Prioritas. Pendekatan yang hanya mengedepankan kuantitas harusnya mulai diarahkan pada pendekatan kualitas.

Untuk hal ini diperlukan official declare dari kementerian atau otoritas negara. Deklarasinya tentu saja harus mampu menjabarkan hal-hal apa saja yang menjadi prioritas kerja bagi kelima destinasi unggulan ini.

Lalu untuk mengimpelementasikan pendekatan kualitas tadi, maka diperlukan pendekatan yang berbasisi pada kebutuhan lokalitas. Khusus destinasi di Borobudur, protokol kesehatan (prokes) yang diterapkan tidak lagi pada pendekatan 3 M (Memakai Masker, Menjaga Jarak, dan Mencuci Tangan) saja. Sejalan dengan pendekatan kualitas destinasi maka ada proteksi dan pembatasan atas kerumunan maupun pendeteksian Covid secara aman dan cepat buat para pengunjung sudah dilakukan.

Penataan ulang tempat-tempat yang berpotensi memberikan ruang berkumpulnya orang secara masif mulai dikelola dengan melakukan pembatasan jumlah kerumunan. Di sisi yang lain, tambahan pengembangan di areal pendukung destinasi juga dilakukan. Ini dilakukan untuk menyiasati jumlah pengunjung tetap tinggi.

Khusus di Candi Borobudur pengembangan ini tetap menjaga keaslian dan tidak mengubah bangunan inti dari cagar budaya yang telah ditetapkan Unesco. Inilah bentuk adjustment untuk memikat kedatangan kunjungan wisatawan pada new era pandemi ini.

Terlepas dari pengembangan dan ikhtiar prokes Covid-19, solusi lain yang perlu dipikirkan untuk menstimulasi bergeliatnya sektor pariwisata adalah adanya kebijakan top down. Kebijakan ini, misalnya, menganjurkan para Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk mulai mereaktifasi kegiatannya ke tempat-tempat yang menjadi lima destinasi super prioritas.

Kebijakan ini tentunya disesuaikan dengan kementerian maupun instansi terkait. Artinya, kebijakan ini jangan hanya sekadar berkunjung dan travelling atas nama dinas saja. Namun, setiap personal ASN harus mampu menarasikan pesan positif melalui sosial media maupun ruang digital resmi tempat para ASN bekerja.

Di sinilah terjadi kegiatan public relations dari pihak ketiga atau soft selling atas destinasi yang dikunjunginya menjadi berjalan. Para pengelola tentunya harus bisa bersikap aktif dalam mem-feeding informasi-informasi bersifat humanis, keunikan lokal maupun hal menarik lainnya kepada para ASN. Tujuannya untuk bisa menstimulasi terjadinya kunjungan dari kelompok wisatawan potensial.

Singkatnya, para ASN yang berkunjung tidak sekadar memposting keindahan alam melalui foto tapi diperkuat oleh narasi yang asupkan dari pihak pengelola destinasi. Inilah yang dinamakan orkestrasi komunikasi untuk menstimulasi kunjungan wisatawan menjadi masif.

Selain ASN, perlu juga sinergi dengan pihak-pihak korporasi dalam mendorong kegiatannya ke tempat-tempat destinasi super prioritas ini. Tentunya, di sini perlu adanya semacam insentif kepada korporasi yang mendukung usaha semacam ini. Tidak lupa juga, narasi-narasi yang dibangun pun harus terokestrasi dan bersinergi dengan pihak pengelola destinasi.

Apakah semua itu sulit dilakukan? Rasanya, tak ada yang sulit jika semua pihak sudah sama-sama saling mengerti dan memahaminya. Toh, para akhirnya adalah bagaimana optimisme untuk membangkitkan sektor bisnis dan jasa di negeri ini harus terus ditumbuhkan. Saatnya kita menanamkan paradigma untuk mulai menyalakan lilin ketimbang mengutuk kegelapan.

Inilah pengejawantahan dari tagline Presiden Jokowi di awal masa kepempinannya: Kerja! Ya, kita harus bekerja secara cerdas untuk menyiasati perubahan yang datang.

Saatnya kita berkontribusi dan memberi solusi atas perubahan yang kini sedang terjadi di negeri ini. Siapkah kita menjadi bagian dari gerbong perubahan tersebut?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement