Ahad 28 Feb 2021 03:09 WIB

Konsep Normalisasi Harus Dilakukan untuk Pengendalian Banjir

Konsep naturalisasi lebih pada fungsi keindahan pada permukiman, bukan pengendalian.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Andi Nur Aminah
Evakuasi korban banjir (ilustrasi)
Foto: Dok UBSI
Evakuasi korban banjir (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Khusus Kementerian PUPR Bidang Sumber Daya Air Firdaus Ali mengatakan, pengendalian banjir di Jakarta harus menggunakan konsep normalisasi dibandingkan naturalisasi. Ali menjelaskan, konsep naturalisasi lebih pada fungsi keindahan pada permukiman, bukan pengendalian banjir. 

"Naturalisasi berbeda dengan normalisasi. Kalau naturalisasi itu fungsinya lebih ke permukiman natural, fungsi estetika, keindahan. Tapi bukan untuk flood control, bukan untuk pengendali banjir. Karena naturalisasi itu dibikin alami pinggirnya ada batu-batuan, rumput, pohon," kata Ali saat dihubungi Republika.co.id, Sabtu (27/2).

Baca Juga

Dia menjelaskan, konsep normalisasi bertujuan untuk mengembalikan dan sekaligus meningkatkan kapasitas aliran air sehingga mampu menampung beban air limpasan yang besar dari hulu. Namun, kata dia, konsekuensinya harus dilakukan pemindahan warga yang ada di bantaran kali.

Selain itu, Ali menuturkan, dengan meningkatkan kapasitas aliran air, maka dapat segera mengalirkan air agar tidak menggenang. "Kalau untuk pengendali banjir sudah pasti tidak mungkin kita melakukan naturalisasi. Kita harus menggunakan normalisasi karena kita harus secepat mungkin mengalirkan air yang jatuh, yang melimpas tadi ke laut. Kalau tidak nanti dia akan menggenang," jelas dia. 

Menurut Ali, banjir di Jakarta terjadi karena tidak mampunya saluran badan air menampung air limpasan yang datang dari hulu. Dia menyebut, ada 13 sungai dengan 76 anak sungai yang melewati Jakarta. 

Beban air limpasan dari hulu pun sangat tinggi lantaran kondisi daerah hulu yang sudah makin sempit. Dia mengungkapkan, hal itu disebabkan ruang resapan yang berkurang dan mengakibatkan terjadinya konversi lahan. Sehingga air limpasan lebih besar dibandingkan dengan yang terserap. 

Dia menyontohkan, dahulu saat masih banyak hutan di wilayah hulu, daya resap air masih tinggi, 80 hingga 90 persen. Sedangkan air limpasan yang timbul hanya sekitar 20 persen. 

Namun, dia menuturkan, saat ini, daerah resapan tersebut sudah berubah fungsi dari hutan sudah berubah menjadi kawasan pemukiman, perkebunan, hingga rekreasi. Sehingga menimbulkan konversi ruang dan fungsinya berubah.

"Yang melimpas lebih banyak dari yang meresap. Saluran yang ada tidak akan mampu menampung limpasan yang saya katakan tadi. Kita bicara dalam keadaan hujan normal dulu. Kalau hujan normal salurannya sudah tidak akan mampu menampung karena yang meresap terbalik dengan yang melimpas dibandingkan dengan kondisi sebelumnya ya," papar Ali. 

"Jadi overflow, lalu badan air itu akan melimpas itu yang menyebabkan banjir. Kondisi ini diperburuk lagi oleh adanya curah hujan yang ekstrem," imbuhnya.

Akibatnya, sambung Ali, beban air yang besar itu menyebabkan wilayah yang dilewati aliran sungai di Jakarta dilanda banjir.

Selain melakukan normalisasi, Ali menilai, solusi lain untuk mengendalikan banjir di ibu kota adalah dengan membangun waduk retensi. Kemudian, sistem drainase dan tanggul sungai maupun pantai yang ada juga harus dibenahi dengan cepat. 

Lalu, dia menyebut, perlu ada penambahan jumlah pompa air juga yang signifikan. Ali mengungkapkan, saat ini jumlah pompa yang ada, jika seluruhnya berfungsi dengan baik, cuma mampu menyedot air sebanyak 530 meter kubik per detik.

Sedangkan beban yang harusnya diperlukan untuk bisa mengamankan wilayah Jakarta agar bebas dari genangan itu minimum harus mampu menyedot air hingga 1.500 meter kubik per detik. "Jadi masih jauh dari yang dibutuhkan," ucapnya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement