Jumat 26 Feb 2021 11:30 WIB

Majelis Papua Tolak Investor Miras

Penolakan terkait terbitnya Perpres 10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.

Rep: Fitriyan Zamzami/ Red: Fitriyan Zamzami
Sejumlah ibu rumah tangga di kawasan  Perbatasan RI-PNG yang tergabung dalam Gerakan Perempuan Anti Miras dan Narkoba memberi isyarat menolak Miras dan Narkoba di Papua, Kamis (3/12). Wadah tersebut digagas untuk menekan angka kematian Ibu dan Anak di Kota Jayapura, Papua.
Foto: ANTARA FOTO
Sejumlah ibu rumah tangga di kawasan Perbatasan RI-PNG yang tergabung dalam Gerakan Perempuan Anti Miras dan Narkoba memberi isyarat menolak Miras dan Narkoba di Papua, Kamis (3/12). Wadah tersebut digagas untuk menekan angka kematian Ibu dan Anak di Kota Jayapura, Papua.

REPUBLIKA.CO.ID, JAYAPURA -- Majelis Rakyat Papua (MRP) secara tegas menolak investasi produksi minuman keras di wilayah tersebut. Hal ini disampaikan sehubungan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang menetapkan Papua sebagai salah satu wilayah tempat minuman keras alias minuman beralkohol boleh diproduksi secara terbuka.

"Kami menolak dengan tegas. Jika mau investasi di Papua, silakan, tapi bawa yang baik-baik. Jangan bawa yang membunuh generasi muda Papua," kata anggota Kelompok Kerja Agama MRP, Dorius Mehue, kepada Republika.co.id, Jumat (26/2). MRP adalah majelis yang diamanatkan UU Otonomi Khusus Papua dan harus dimintai persetujuannya terkait kebijakan-kebijakan di Papua. Namun, menurut tokoh perempuan Papua itu, pihaknya sama sekali belum diajak bicara soal perpres tersebut.

Dorius yang juga ketua Persekutuan Wanita Gereja Kristen Indonesia (PW GKI) Papua menekankan, dampak minuman keras di Papua selama ini sangat merugikan warga. "Pertama, warga minum-minum, kemudian mabuk, dan dari situasi itu muncul banyak kekerasan," ujarnya.

photo
Anggota Pokja Agama MRP Dorius Mehue. - (Dok Pribadi)
 

Sejauh ini, ia menekankan, pihak-pihak di Papua telah berupaya mengikis persoalan miras ini. MRP juga telah membentuk Koalisi Antimiras guna menanggulangi persoalan yang dipandang serius di Papua tersebut. Sebab itu, ia tak menginginkan upaya-upaya tersebut dikandaskan lagi dengan regulasi yang lebih permisif soal miras di Papua.

Baca juga : Menolak Miras, Sang Pembunuh di Papua

Ia menyarankan, pemerintah semestinya berupaya membawa investasi yang bisa membangun lapangan kerja di papua secara positif. "Silakan datang berinvestasi, kami punya banyak sumber daya, tapi investasi yang baik-baik saja," ujar dia.

Ia juga mengingatkan, sejauh ini, Pemprov Papua telah menerbitkan Perda Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pelarangan Produksi, Pengedaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. Pada Pasal 6 regulasi itu diatur, "Setiap orang atau badan hukum perdata dilarang memproduksi minuman beralkohol Golongan A, Golongan B, dan Golongan C."

photo
Tangkapan halaman Lampiran III Perpres Nomor 10/2021 - (https://jdih.setkab.go.id/)

Kemudian pada Pasal 7 diatur, "Setiap orang, kelompok orang, atau badan hukum perdata dilarang memproduksi minuman beralkohol yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan/atau bahan alami serta memproduksi minuman beralkohol dengan cara racikan atau oplosan." "Peraturan itu yang harus ditegakkan di Papua. Implementasikan pembatasannya yang sekarang belum optimal," kata Dorius Mehue.

Pemerintah sebelumnya telah menetapkan industri minuman keras sebagai daftar positif investasi (DPI). Sebelumnya, industri minuman beralkohol merupakan bidang insdustri tertutup. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Beleid yang merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini telah diteken Presiden Joko Widodo dan mulai berlaku per tanggal 2 Februari 2021.

Aturan tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam Lampiran III Perpres Nomor 10/2021 pada angka 31, 32, dan 33 ditetapkan bahwa bidang usaha industri minuman keras mengandung alkohol, alkohol anggur, dan malt terbuka untuk penanaman modal baru di Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya serta kearifan setempat. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement