REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PKB Luqman Hakim mengatakan fraksinya sejak awal mendukung revisi UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Namun, Fraksi PKB melihat ketentuan jadwal Pilkada Serentak pada 2024 yang diatur dalam UU nomor 10 tahun 2016 tidak perlu diubah.
Menurutnya, UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada belum perlu direvisi karena UU tersebut belum dijalankan 100 persen karena baru dijalankan pada Pilkada 2018 dan 2020. "Ketentuan Jadwal Pilkada serentak November 2024 yang diatur pada Pasal 201 ayat 8 UU Pilkada, beri kesempatan dipraktekkan terlebih dahulu, setelah itu baru dilakukan evaluasi," kata Luqman Hakim saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (23/2).
Luqman mengatakan, sejak awal PKB pada posisi menginginkan revisi UU Pemilu untuk memperbaiki berbagai aturan pemilu yang tertuang dalam UU tersebut. Ia menjelaskan, UU Pemilu telah dilaksanakan 100 persen pada Pemilu 2019 dan PKB telah melakukan evaluasi mendalam atas pelaksanaan Pemilu tersebut.
"Kebutuhan merevisi suatu UU, dalam hal ini UU Pemilu, menurut PKB harus melihat dua aspek penting, yaitu aspek substansi materi legislasi yang bersumber dari evaluasi Pemilu 2019 dan aspek prosedur dan mekanisme pembentukan UU," ujarnya.
Menurutnya, pada aspek substansi materi legislasi, upaya revisi UU Pemilu penting dilakukan dan harus mencakup masalah-masalah mendasar yang menjadi temuan kekurangan pada pelaksanaan Pemilu 2019. Luqman mencontohkan, banyak penyelenggara pemilu yang meninggal dunia akibat aturan penghitungan suara yang harus selesai pada hari pemungutan suara.
"Sedangkan batas maksimum hak pilih tiap TPS masih sangat tinggi, yakni 500 pemilih dengan lima kertas suara. Beban penghitungan yang dibatasi waktu, menyebabkan banyak petugas KPPS kelelahan, sakit dan meninggal dunia," katanya.
Luqman juga mencontohkan, praktik politik uang pada Pemilu 2019 makin massif dan besar angka rupiahnya jika dibandingkan pemilu 2014 dan 2009. Hal itu menurut dia disebabkan aturan penegakan hukum terhadap praktik politik uang yang tidak tegas dan efektif.
"Semakin kuatnya pengaruh politik dalam pemilu, tentu merusak hakikat demokrasi dan menyebabkan kekuasaan yang dihasilkan pemilu mengalami penurunan legitimasi dan cenderung korup," ujarnya.
Luqman menjelaskan, pada aspek prosedur dan mekanisme pembentukan UU, agar revisi UU Pemilu dapat berjalan maka harus ada kesediaan pemerintah dan DPR untuk bersama-sama membahas revisi UU tersebut. Menurutnya, sebuah UU tidak bisa dibahas dan diputuskan oleh satu pihak saja, karena itu F-PKB dalam posisi siap membahas revisi UU Pemilu bersama pemerintah dan fraksi-fraksi lain di DPR.
"Saya mendengar pemerintah tidak bersedia membahas revisi UU Pemilu karena sedang berkonsentrasi penuh untuk mengatasi pandemi Covid-19 dan memulihkan ekonomi nasional. Karena PKB bagian dari koalisi pemerintah, tentu kami mendukung sikap pemerintah," katanya.
Namun menurutnya, jika saat ini pemerintah sudah memiliki cukup kesempatan dan kesediaan untuk bersama DPR membahas revisi UU Pemilu, PKB sangat gembira dan sangat siap menuntaskan pembahasan UU ini bersama fraksi-fraksi lain di DPR.