REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) mendesak pemerintah bersama dengan DPR merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). BEM SI memandang UU ITE memiliki pasal karet sehingga banyak menjerat aktivis dan kelompok mitra kritis atau juga pihak yang berseberangan dengan pemerintah.
"UU ITE yang seharusnya memiliki tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional, efektivitas dan efisiensi pelayanan publik, memajukan pemikiran dan kemampuan, serta memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum justru menjadi UU yang sering disalahgunakan sebagai sarana untuk membungkam kelompok yang kritis terhadap pemerintah," kata Koordinator Pusat BEM SI Remy Hastian dalam keterangan tertulisnya kepada Republika.co.id, Ahad (21/2).
Remy menyebutkan, dari data yang dihimpun dari tahun 2009, jumlah kasus yang dijerat menggunakan UU ITE ada sebanyak 74 kasus. Pada periode pertama Presiden Jokowi jumlah kasus UU ITE menjadi 233 kasus.
Sementara jika ditambahkan dengan satu tahun di periode kedua, jumlah masyarakat yang dijerat menggunakan UU ITE selama kepemimpinan Jokowi sudah mencapai 241 kasus. BEM SI juga mengecam tindakan pemerintah yang menjadikan UU ITE sebagai alat pembungkaman terhadap kritik.
"Menuntut Instansi Polri agar lebih selektif dalam menanggapi laporan/aduan pelanggaran UU ITE dan bertindak tegas dalam penegakkan supremasi hukum di Indonesia," ujarnya.
Selain itu BEM SI juga mendesak Polri agar segera membebaskan para aktivis dan mahasiswa yang menjadi tahanan pada aksi demonstrasi penolakan Omnibuslaw Cipta Kerja.