REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Dessy Suciati Saputri, Rr Laeny Sulistyawati
Program vaksinasi Covid-19 di Indonesia saat ini telah memasuki fase tahap. Setelah vaksin disuntikkan kepada tenaga kesehatan, per Februari ini, vaksinasi juga mulai menyasar lansia dan pekerja publik, termasuk pedagang pasar.
Kendati target sasarannya semakin luas, namun masih ada pertanyaan yang muncul di tengah masyarakat mengenai vaksinasi itu sendiri. Termasuk tentang apa saja reaksi yang mungkin muncul setelah divaksin? Apakah ada efek samping?
Ketua Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas KIPI), Hindra Irawan Satari, menjelaskan bahwa bentuk reaksi tubuh atau gejala yang muncul pasca-divaksin dikelompokkan menjadi tiga, yakni reaksi lokal, reaksi sistemik (umum), dan reaksi berat.
"Reaksi lokal, tentunya terjadi di titik suntikan," ujar Hindra dalam dialog bersama Juru Bicara Pemerintah untuk Vaksinasi Reisa Broto Asmoro, Jumat (19/2).
Reaksi lokal yang dirasakan di sekitar titik suntikan ini, ujar Hindra, seperti bengkak dan kemerahan pada bekas suntikan, gatal, pegal di sekitar suntikan, atau nyeri. Kemudian reaksi sistemik atau umum, terjadi secara menyeluruh di bagian tubuh lain atau seluruh tubuh, seperti demam, nyeri otot seluruh tubuh, nyeri sendi, badan lemah, atau pusing.
Reaksi umum lainnya, ujar Hindra, termasuk rasa mengantuk dan nafsu makan yang berkurang. Terakhir, reaksi berat adalah reaksi alergi yang wujudnya bisa bervariasi pada setiap individu.
"Namun Alhamdulillah semuanya bisa ditangani. Ada yang tanpa pengobatan, dengan pengobatan, ada yang ringan. Tapi tidak ada yang sampai memerlukan tindakan serius. Ini kami pantau laporan masuk dari hari ke hari, kami kaji setiap hari," ujar Hindra.
Kejadian ikutan pascaimunisasi atau KIPI bisa terjadi karena merupakan bentuk reaksi tubuh terhadap benda asing. Namun, manfaat yang diperoleh dari vaksinasi Covid-19 ini akan jauh lebih besar daripada risiko yang ditemukan.
"Jadi ada risikonya memang betul. Namun manfaat yang diperoleh jauh daripada risiko yang mungkin terjadi," kata dia.
Hindra juga menjelaskan, terdapat dua kontraindikasi pemberian vaksin Covid-19 kepada masyarakat. Yakni masyarakat yang memiliki riwayat alergi terhadap komponen vaksin, serta memiliki sindrom imunodefisiensi primer.
"Artinya memang mempunyai kelainan bawaan daya tahan tubuhnya tidak normal, rendah," kata Hindra.
Sedangkan untuk masyarakat yang memiliki penyakit bawaan atau komorbid dapat diberikan namun dengan mengutamakan kehati-hatian. Hindra mengatakan, meskipun mendapatkan rekomendasi Emergency Use Authorization (EUA), vaksin ini diberikan untuk pencegahan penularan Covid-19, bukan untuk mengobati.
"Karena vaksin ini pencegahan, bukan pengobatan. Jadi bukan terhadap orang sakit, tapi terhadap orang sehat," tambahnya.
Ia menegaskan, pada prinsipnya vaksin Covid-19 yang disuntikkan kepada masyarakat telah mendapat izin penggunaan dari BPOM. Izin ini pun diterbitkan setelah melalui berbagai lapis kajian keilmuwan.
Karena itu, Hindra mengajak masyarakat agar yakin mengikuti vaksinasi Covid-19. Sehingga, dapat segera memutus rantai penularan dan menghentikan pandemi.
Jaminan pemerintah
Pemerintah akan menjamin dan menanggung seluruh biaya KIPI atau efek samping setelah menerima suntikan vaksin Covid-19. Hal ini tertuang dalam pasal 15A ayat (4) Peraturan Presiden RI Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19.
“Terhadap kasus kejadian ikutan pasca Vaksinasi Covid-19 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pengobatan dan perawatan sesuai dengan indikasi medis dan protokol pengobatan, maka biaya pengobatan dan perawatan dilaksanakan dengan ketentuan,” bunyi Pasal 15A ayat (4).
Bagi peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional yang aktif, maka biaya pengobatan dan perawatannya akan ditanggung melalui mekanisme Jaminan Kesehatan Nasional. Dan bagi peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional yang non aktif dan selain peseta Program Jaminan Kesehatan Nasional didanai melalui mekanisme pendanaan lain yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara.
Dalam pasal 15A ayat (5) disebutkan bahwa pelayanan kesehatan bagi peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional yang non aktif dan selain peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b diberikan setara dengan pelayanan kesehatan kelas III Program Jaminan Kesehatan Nasional.
Lebih lanjut, pemerintah juga akan memberikan kompensasi berupa santunan bagi penerima vaksinasi yang mengalami cacat atau meninggal dunia setelah mendapatkan suntikan vaksin Covid-19. Hal ini diatur dalam Pasal 15B ayat (1).
“Dalam hal terdapat kasus kejadian ikutan pasca vaksinasi yang dipengaruhi oleh produk Vaksin Covid-19 berdasarkan hasil kajian kausalitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15A ayat (3) dan kasus tersebut menimbulkan kecacatan atau meninggal, diberikan kompensasi oleh pemerintah,” demikian bunyi Pasal 15B ayat (1).
Terkait dengan kriteria, bentuk, dan nilai besaran kompensasi yang diberikan oleh pemerintah lebih lanjut akan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan. Perpres Nomor 14 Tahun 2021 ini telah diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 9 Februari.
In Picture: Jokowi Tiinjau Vaksinasi Covid Pedagang Pasar Tanah Abang
Pengawasan BPOM
Setelah menerbitkan izin darurat penggunaan vaksin Sinovac, BPOM bersama-sama dengan Kemenkes dan Komnas/Komda PP KIPI melakukan analisis kasualitas jika terjadi keluhan medis yang dirasakan masyarakat setelah dilakukan vaksinasi.
"Jika ada dugaan kuat bahwa kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) dipengaruhi oleh produk vaksin, maka Badan POM melakukan sampling dan pengujian, serta mengambil langkah-langkah investigasi yang diperlukan sesuai prosedur," kata Kepala BPOM Penny K. Lukito, belum lama ini.
Selain itu, dia melanjutkan, BPOM terus melakukan pengawalan di setiap jalur distribusi, mulai keluar dari industri farmasi hingga digunakan dalam pelayanan vaksinasi kepada masyarakat. Ia menambahkan, Penerapan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) harus dilakukan di sepanjang jalur distribusi, terlebih juga karena vaksin ini bersifat thermolabile, yang membutuhkan penjagaan rantai dingin yaitu suhu 2-8 derajat Celcius. Penjagaan suhu penyimpanan dan pengiriman vaksin Covid-19 ditujukan untuk mencegah terjadinya penurunan mutu vaksin yang mengakibatkan vaksin menjadi tidak bermanfaat.
"Dalam pengelolaan vaksin, hal yang paling kritikal adalah bangunan dan fasilitas yang digunakan dalam operasional mengingat vaksin adalah produk rantai dingin yang harus dipertahankan mutunya pada suhu penyimpanan 2-8 derajat Celcius atau suhu yang dipersyaratkan," katanya.
Pihaknya mendorong instalasi farmasi pemerintah (IFP) agar konsisten memperhatikan proses pendistribusian dan pengelolaan vaksin sesuai cara yang baik (good practices) maupun SOP, panduan, pedoman yang berlaku serta dapat segera melakukan tindakan koreksi jika terdapat ketidaksesuaian. Proses pendistribusian vaksin Covid-19 dilakukan oleh PT Bio Farma ke IFP Provinsi yang selanjutnya akan didistribusikan ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan melalui IFP Kabupaten/Kota.
“UPT Badan POM di seluruh Indonesia siap melakukan pengawalan distribusi vaksin oleh Instalasi Farmasi Pemerintah di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota, sampai dengan diterima di fasilitas pelayanan kesehatan dan memberikan pendampingan pemenuhan penerapan aspek CDOB dan peningkatan kompetensi petugas pengelola Instalasi Farmasi Pemerintah,” ujarnya.