REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- UU ITE ada sejak tahun 2008 dan sudah mengalami revisi pada 2016. Saat itu menteri Rudiantara didesak untuk mengubah ancaman pidana dari 6 tahun menjadi dibawah 5 tahun. Hal ini terkait dengan adanya aturan kehilangan hak politik bagi seseorang yang mendapatkan pidana diatas 5 tahun.
Belakangan ini UU ITE semakin mendapat sorotan masyarakat karena adanya saling lapor dari beberapa individu dan kelompok masyarakat menggunakan UU ITE, terutama pasal 27 ayat 3 dan juga pasal 28. Beberapa parpol mendesak agar pasal karet UU ITE dihapus. Presiden Joko Widodo sendiri sudah bersuara agar DPR segera merevisi pasal karet yang ada.
Dalam keterangannya Rabu (16/2), pakar keamanan siber Pratama Persadha mendukung sikap Presiden Joko Widodo untuk merevisi pasal karet di UU ITE. Menurutnya pasal di KUHP sudah cukup untuk urusan pencemaran nama baik.
“UU ITE ini memang sudah banyak dikeluhkan, terutama akhir-akhir ini digunakan untuk pelaporan banyak pihak. Tentunya kepolisian juga mendapatkan tekanan dari masyarakat, karena masing-masing pihak ingin laporannya dan pihak terlapor segera di proses,” jelas chairman lembaga riset keamanan siber CISSReC (Communication & Information System Security Research Center) dalam rilisnya ke Republika.co.id.
Lebih jauh Pratama menjelaskan, misalnya dalam beberapa kasus hoaks yang malah ditangkap adalah pihak-pihak yang menyebarkan saja, yang bisa dibilang mereka ini juga korban karena terhasut dan tidak tahu konten yang diposting adalah hoaks.
“Kita ingin UU ITE ini mendorong aparat untuk mengusut dan menangkap aktor intelektual. Memang dalam penyebaran sebuah konten hoaks ada saja masyarakat yang menjadi tersangka karena ikut menyebarkan meski tidak tahu dan bukan bagian dari tim hoaks. Namun ini kan sebenarnya mudah saja dibuktikan bahwa mereka ini bertindak sebagai korban, bukan bagian dari tim produksi dan penyebar. Inilah salah satu ketakutan masyarakat,” terangnya.