Lenny juga mengingatkan, dampak perkawinan anak lainnya seperti tingginya KDRT, kekerasan terhadap anak, terganggunya kesehatan mental anak dan ibu, munculnya pola asuh yang salah pada anak. Bahkan ,tak menutup kemungkinan identitas anak tidak tercatat karena urung memiliki akta kelahiran.
"Dikhawatirkan memunculkan risiko terburuk yaitu terjadinya perdagangan orang," sebut Lenny.
Lenny mengakui, perkawinan anak merupakan masalah kritis karena tingginya angka perkawinan anak. Pada 2019, ada 22 provinsi yang memiliki angka perkawinan anak di atas rata-rata angka nasional yaitu 10,82 persen. Dari 2019 hingga 2020, telah terjadi penurunan angka perkawinan anak sebanyak 0,6 persen. Adapun targetnya menurun hingga 8,74 persen pada 2024.
Kementerian PPPA sudah memasukan isu perkawinan anak sebagai indikator ke 7 dari 24 indikator Kota/Kabupaten Layak Anak (KLA). Kementerian PPPA juga telah melakukan sosialisasi webinar berseri, sosialisasi secara gencar melalui media sosial, mobilisasi melibatkan K/L, Lembaga Masyarakat, dan unsur lainnya.
"Kami juga sedang menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah untuk Dispensasi Kawin terkait mekanisme pengajuan dispensasi kawin terintegrasi yang dibuat sebagai pedoman bagi masyarakat," ucap Lenny.