Kamis 18 Feb 2021 09:09 WIB

Benarkah Panglima Lebay Soal Senjata Sosial Baru?

Panglima diminta tak kambinghitamkan medsos tanpa fokus di akar penyebab konflik.

Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto meminta jajarannya mewaspadai senjata sosial baru yaitu dunia maya. Pasalnya dunia maya dianggap berpotensi menimbulkan konflik hingga perekrutmen terorisme dan progranda.
Foto:

Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto, Selasa (16/2), mengingatkan kepada prajuritnya soal senjata sosial baru yakni internet, siber, dan media sosial. “Kekuatan media sosial telah menggulirkan kerusuhan di beberapa negara seperti Eropa, Amerika Serikat, Myanmar dan Thailand,” kata Hadi saat membuka  Rapat Pimpinan TNI Tahun 2021 di GOR Ahmad Yani Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur.

Panglima TNI menyampaikan, hal tersebut menjadi salah satu isu strategis yang dibahas dalam Rapim TNI 2021 ini. Menurut dia, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang telah melahirkan "senjata sosial baru" itu harus menjadi perhatian bersama.

Menurut Hadi, kekuatan internet dan media sosial telah digunakan untuk menyebarkan paham radikalisme dan terorisme. Ia melihat dunia maya telah dimanfaatkan sebagai wadah perekrutan generasi radikal dan teroris.

"Dunia maya telah menjadi domain untuk perekrutan generasi radikal dan teroris yang juga memanfaatkan media sosial untuk propaganda-propagandanya," ucap Hadi.

Proses seseorang dari awal mengenal hal-hal radikal hingga melakukan aksi teror menjadi lebih cepat dengan adanya media sosial. Sebelum era media sosial datang, proses tersebut bisa memakan waktu lima hingga 10 tahun, kini hanya butuh waktu nol hingga satu tahun.

Hal itu didapatkan dari hasil studi yang dilakukan oleh pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Solahudin, yang dipublikasikan di media pada tahun 2018. Ia melakukan wawancara terhadap 75 orang narapidana terorisme. Salah satu pertanyaannya, yakni butuh waktu berapa lama untuk mereka melakukan aksi teror sejak pertama kali terpapar paham radikal.

"Sebanyak 85 persen terpidana terorisme sejak dia mulai kenal paham ISIS sampai dia melakukan aksi teror kurang dari satu tahun. Jadi, antara nol hingga satu tahun," ujar Solahudin.

Kemudian, ia membandingkan hal tersebut dengan narapidana teroris yang terpidana sejak 2002 hingga 2012. Pada era tersebut, media sosial belum semarak seperti saat ini. Rata-rata, kata Solahudin, mereka menjawab membutuhkan waktu antara lima hingga 10 tahun.

"Kemudian saya tanya, mereka punya akun sosial media? Hampir semua punya social media. Sehingga, saya bisa simpulkan, salah satu elemen yang mempercepat proses radikalisasi itu terkait dengan sosial media," kata dia.

Solahudin juga menuturkan, media sosial memang dapat digunakan sebagai wahana untuk meradikalisasi dan merekrut seseorang menjadi teroris. Intensifnya seseorang terpapar pesan berisi kekerasan atau kejahatan membuat seseorang dapat menjadi radikal.

"Saya sendiri melihat paling tidak kalau di studi-studi akademis, sosial media itu penting untuk proses radikalisasi dan rekrutmen," ujarnya.

Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) juga sudah lama melihat praktik rekrutmen teroris jaringan ISIS lewat media sosial. Di masa lalu, teroris berafiliasi dengan Alqaidah cara merekrut anggotanya harus dengan bertatap muka langsung. Praktik bai'at harus dilakukan langsung di hadapan anggota jaringannya.

Kondisi tersebut berbeda dengan cara rekrutmen jaringan ISIS Suriah dan Irak saat ini. Untuk menjadi anggota ISIS hanya perlu berkomunikasi melalui website atau via media sosial lainnya. Sumpah anggota cukup dilakukan melalui bantuan media sosial. Cara tersebut dinilai lebih mudah karena medsos tidak mengenal batasan negara dan sulit menentukan yurisdiksi hukumnya.

Cara ini memiliki dampak yang lebih besar. Teroris pun bisa melakukan banyak hal tanpa perlu bertatap muka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement