REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Policy Center Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) Mohammad Jibriel Avesinna mengingatkan pemerintah agar waspada terhadap potensi krisis dalam penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) mendatang. Menurut dia, ada tiga hal yang perlu menjadi catatan bagi para pemangku kepentingan dalam menentukan keputusan regulasi pemilu.
"Pertama, apakah pemilihan serentak lima kotak, pemilihan presiden dan legislatif (DPD, DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kab/kota) hal yang realistis mengingat terdapat 894 petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) wafat dan 5.175 jatuh sakit pada Pemilu 2019 yang lalu," ujar Jibriel dalam diskusi daring, Rabu (17/2).
Ia melanjutkan, jika pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak dilakukan pada tahun yang sama di 2024, maka beban penyelenggara semakin berat. Catatan kedua, Jibriel melihat ada potensi krisis legitimasi sebagai konsekuensi logis dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Menurut dia, pada 2022-2023, terdapat sekitar 272 pejabat kepala daerah yang tidak dipilih langsung rakyatnya, melainkan penunjukkan penjabat (pj) kepala daerah. Catatan ketiga, Jibriel melihat perlu penyesuaian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan Undang-Undang Pilkada terhadap situasi pandemi Covid-19.
Sementara itu, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, keputusan tidak merevisi UU Pemilu merupakan pilihan rasional hanya bagi pemerintah dan partai politik (parpol). Menurut dia, ada kepentingan utilitas dan preferensi dalam menjaga manfaat dari kepentingan parpol dan pemerintah
"Utilitas pemerintah adalah pilkada terselenggara 2024 dan ambang batas pencalonan presiden tetap berlaku 20 persen kursi atau 25 persen suara. Sedangkan, utilitas partai politik baik parlemen dan nonparlemen ada beragam," ujar Titi.
Namun, Titi memandang keputusan ini kurang memberi utilitas atau manfaat pada upaya memperkuat tata kelola pemilu dan demokrasi Indonesia. Selain itu, timbul potensi melemahkan mutu demokrasi Indonesia, menurunkan performa parpol, serta membatasi kuantitas dan kualitas keterlibatan partisipatoris publik.
Menurutnya, meski keserentakan pemilu tidak berubah, pemerintah tetap harus melakukan perbaikan peraturan UU Pemilu. Perubahan ini diperlukan untuk mempermudah dan menjamin kemurnian suara pemilih.