Rabu 17 Feb 2021 14:07 WIB

Sinyal Pemerintah Dukung Hukuman Mati Bagi Edhy dan Juliari

Wamenkumham menyebut ada dua alasan pemberat Edhy dan Juliari layak dituntut mati.

Menteri Sosial Juliari P Batubara mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Ahad (6/12). Wamenkuman Eddy Hiariej menyatakan dua mantan menteri yang kini menjadi tersangka korupsi di KPK layak dituntut hukuman mati. (ilustrasi)
Foto:

Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menanggapi pernyataan Wamenkumham Edward Omar Sharief Hiariej yang menyebut mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo pantas dituntut mati. Dasco mengimbau Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) fokus pembenahan di internal Kemenkumham.

"Kami apresiasi memberikan pendapat untuk perkara-perkara eksternal, tapi kami juga mengimbau kepada wamenkumham untuk juga melakukan pencegahan-pencegahan di internal di Kementerian Kumham," kata Dasco kepada Republika, Rabu (17/2).

Dasco menyebut, sejumlah direktorat jenderal di internal Kemenkumham perlu dilakukan pembenahan dan pencegahan kasus serupa. Di antaranya di di Direktorat Jenderal AHU, Direktorat Jenderal Paten dan Merek, Direktorat Jenderal Imigrasi.

"Terutama lapas yang saat ini juga banyak kekurangan," ujarnya.

Adapun, politikus PDIP Aria Bima merespons singkat pernyataan Wamenkumham.

"Soal hukum, serahkan saja ke penegak hukum," kata Aria kepada Republika, Rabu (17/2).

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, hukuman mati untuk para koruptor yang melakukan korupsi hanya alat politik. Menurutnya, hal ini dilakukan untuk menutupi kerja yang tidak maksimal dan kegagalan pada sistem.

Erasmus menilai pada dasarnya, hukuman mati bukan solusi tepat. Sebab, sampai saat ini belum ada penurunan kasus korupsi di Indonesia.

"Jadi, saya lihat ada saja kemungkinannya para koruptor dihukum mati. Tapi perlu diingat rekam jejak di Indonesia memperlakukan hukuman mati hanya sebagai alat politik dan kampanye popularitas," tutur Erasmus saat dihubungi Republika, Ahad (6/12).

Ia menambahkan, 10 negara terbaik dalam penanganan kasus korupsi tidak menerapkan hukuman mati. Kemudian, ia melanjutkan tuntutan pidana mati pada pelaku korupsi disandarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang membuka peluang penjatuhan hukuman mati dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan pada keadaan tertentu.

Efek jera yang dimiliki jenis pidana ini, dipercaya dapat membantu mengurangi angka korupsi. Namun, pada kenyataannya belum ada angka penurunan korupsi di Indonesia.

Erasmus menuturkan, dalam penelitian yang dilakukan Jiangnan Zhu pada 2012, ditunjukkan kalau hukuman mati yang dijatuhkan terhadap koruptor di China hanyalah menurunkan frekuensi investigasi korupsi dibandingkan dengan frekuensi korupsi yang terjadi.

Terlepas dari ancaman pidana korupsi di China yang sangat berat, level korupsi tidak terlihat menunjukkan penurunan yang signifikan. Walaupun korupsi yang berada di ukuran kecil (petty corruption) mungkin menunjukkan penurunan, namun kasus-kasus yang melibatkan pemain yang 'besar', pejabat dengan kekuasaan maupun sekelompok pejabat justru semakin banyak ditemukan.

"Bahkan di China, dimana hukuman pidana mati jelas tidak hanya tertulis saja, tidak adanya penurunan secara signifikan angka korupsi kelas kakap yang merugikan negara," kata dia.

Ia menambahkan tanpa adanya hukuman pidana mati pada koruptor, sebuah negara masih bisa mencapai cita-cita antikorupsinya dengan maksimal seperti di Denmark, New Zealand, Finlandia dan Singapura.

"Solusi yang tepat itu ya dari sekarang pemerintah harus memperbaiki sistemnya, perkuat pengawasan dan kejar keberadaan uang yang telah dikorupsinya itu. Mana saja yang terlibat hingga akarnya. Lalu, ungkap ke masyarakat. Hukuman mati bukan jawaban dan memang tidak pernah," tegas dia.

photo
Daftar Belanja Edhy Prabowo di AS - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement