Selasa 16 Feb 2021 13:44 WIB

Wacana Revisi UU ITE, DPR Dulu tak Kompak Hapus Pasal Karet

UU ITE pernah direvisi pada 2016, hanya PKS dan PAN yang usulkan hapus pasal karet.

Kebebasan berpendapat (ilustrasi).

Anggota Komisi I DPR RI Sukamta mendukung sikap pemerintah yang membuka ruang antara pemerintah dan DPR untuk merevisi UU ITE. Ia mengatakan, bahwa rencana tersebut sejalan dengan pandangan PKS yang beberapa tahun terakhir mengusulkan agar UU ITE direvisi dan dimasukkan ke dalam prolegnas.

"Karenanya, kami menyambut baik dan sangat setuju atas rencana revisi UU ITE," kata Sukamta kepada Republika, Selasa (16/2).

Sukamta menilai, dari sisi masyarakat revisi tersebut tentu bisa memberikan rasa keadilan dan kenyamanan di masyarakat. Namun dari sisi pemerintah, ia melihat revisi tersebut sudah agak terlambat, karena proses revisi UU yang memakan waktu satu hingga dua tahun pembahasan.

"Kemungkinan UU ITE yang sudah direvisi baru bisa diterapkan pada tahun 2023 atau 2024 di penghujung masa jabatan Presiden Jokowi. Jadi jangan sampai revisi UU ITE ini nantinya hanya move politik kosong belaka," ujarnya.

Dirinya menjelaskan, bahwa UU ITE pada awal pembahasannya sangat mulia untuk memberi kepastian hukum bagi para pelaku ekonomi dan bisnis di dunia maya (elektronik). Seiring berjalannya waktu, dalam implementasinya UU ITE justru lebih kental nuansa hukum pencemaran nama baiknya daripada soal transkasi ekonomi-bisnisnya.

"Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik dianggap pasal karet dan dijadikan alat untuk mengkriminalisasi masyarakat, hingga banyak korban berjatuhan. Banyak orang dilaporkan, ditangkap dan ditahan karena menyampaikan pendapatnya di internet," ungkapnya.

Oleh karena itu, dikatakan Sukamta, UU ITE direvisi menjadi UU RI Nomor 19 tahun 2016. Saat itu beberapa hal direvisi seperti soal pemblokiran situs internet, right to be forgotten (hak untuk dilupakan), penyadapan, penyidikan, dan termasuk pasal pencemaran nama baik yang dikurangi maksimal ancaman pidana penjaranya dari 6 tahun menjadi 4 tahun.

Ia menuturkan, saat itu Fraksi PKS meminta agar pasal pencemaran nama baik ditinjau ulang, bahkan kalau perlu dihapus saja, mengingat sudah diatur dalam KUHP, agar tidak ada duplikasi pengaturan. Namun Hanya fraksi PKS dan PAN yang dianggap progresif pandangannya terhadap pasal tersebut

Sukamta yang juga bertindak sebagai anggota Panja Revisi UU ITE saat itu, menjelaskan bahwa dalam dinamika pembahasan, mayoritas fraksi pendukung koalisi pemerintah menginginkan pasal tersebut tetap dipertahankan dengan pengurangan maksimal ancaman pidana penjara agar tidak ada lagi kriminalisasi dengan penahanan sebelum putusan hukum tetap dari pengadilan. Hingga akhirnya disahkan revisi UU ITE seperti yang sekarang.

"Pada implementasinya, ternyata masih banyak proses hukum kasus pencemaran nama baik di lapangan yang tidak sesuai dengan spirit revisi tersebut. Malah terakhir kriminalisasi melebar ke pasal-pasal lain seperti pasal soal hoax dan pasal keonaran yang juga dianggap pasal karet," tuturnya

Anggota Komisi I DPR, Christina Aryani, mendukung pernyataan Presiden Jokowi yang membuka ruang bagi pemerintah dan DPR untuk duduk bersama membahas UU ITE. Ia mengapresiasi sikap Presiden Jokowi yang menangkap kegusaran masyarakat terkait UU ITE tersebut.

"Banyak masukan ke kami dari NGO dan masyarakat terkait urgensi revisi pasal-pasal karet dalam UU ITE," kata Christina Republika, Selasa (16/2).

Ia mengatakan, pernyataan Presiden Jokowi kemarin sebenarnya meminta agar Kapolri membuat pedoman interpretasi resmi terkait pasal-pasal UU ITE yang berpotensi multitafsir. Pedoman tersebut digunakan oleh institusi kepolisian dalam menerima laporan atau menjalankan penyelidikan/penyidikan.

"Apabila dalam level peraturan tersebut (peraturan kapolri atau surat edaran kapolri) problem multifasir maupun saling lapor sudah bisa dieliminir maka revisi UU ITE belum diperlukan, namun jika ternyata implementasi di lapangan masih tidak sesuai dengan harapan, maka revisi UU ITE menjadi satu-satunya jalan keluar," ujarnya.

Anggota Komisi I DPR Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Syaifullah Tamliha juga mendukung Presiden Joko Widodo yang mewacanakan revisi UU ITE. Khususnya, pasal-pasal karet yang ada di dalamnya.

"Merevisi UU tersebut sekaligus untuk menjawab pertanyaan Pak JK tentang bagaimana menyampaikan kritik agar tidak dipanggil polisi. Ide dan gagasan Presiden Jokowi tersebut kita sambut hangat bagi kehidupan demokrasi yang lebih baik," ujar Syaifullah saat dihubungi, Selasa (16/2).

Pakar hukum tata negara, Jimly Assshiddiqie mengatakan, sejak awal disahkannya UU ITE, memang sudah muncul berbagai pelebaran tafsir hukum. Utamanya, tafsir yang merusak kebebasan warga untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat.

Jimly menambahkan, hingga kini semua pelaksana UU ia sebut tidak tergerak untuk memahaminya sebagai penyimpangan implementasi. Bahkan, cenderung melepaskannya dan membuat multitafsir baru lain yang dimanfaatkan banyak pihak.

"Sekarang sudah saatnya (untuk) diperbaiki," ujar Ketua Umum ICMI itu kepada Republika, Selasa (16/2).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement